Mohon tunggu...
Anindita Galuh
Anindita Galuh Mohon Tunggu... Mahasiswa - @aninditagaluhw

pengkhayal

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korban Pelecehan Seksual yang Diduga Dilakukan Gofar Hilman Speak Up di Media Sosial

20 Juni 2021   14:02 Diperbarui: 20 Juni 2021   14:12 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Mendukung seluruh korban dan penyintas kekerasan dan pelecehan seksual untuk mendapatkan segenap hak dan pemulihan," tulisnya.

"DPR_RI mau nunggu sampai berapa korban lagi untuk #SahkanRUUPKS!!!" tegas Sakdiyah dalam cuitannya.

Hannah Al Rashid juga memberi dukungan kepada korban. Menurutnya, korban pelecehan seksual harus menyuarakan kasusnya tidak perduli seberapa berpengaruhnya pelaku pelecehan tersebut.

"Selalu memberikan solidaritas dengan korban kekerasan, terutama mereka yang cukup berani untuk berbicara tentang pengalaman mereka, ketika pelaku memiliki begitu banyak kekuasaan dan pengaruh. Dan kami akan terus berteriak lagi dan lagi dan lagi #SahkanRUUPKS," tulisnya.

Penegakan hukum di Indonesia tentang pelecehan seksual memang masih abu -- abu. Perlindungan hukum yang didapatkan korban bahkan belum ada. Bahkan dalam perundang -- undangan kita tidak ada istilah pelecehan seksual namun pencabulan. Dalam KUHP hanya mengatur tindak pidana Melanggar Kesusilaan Pasal 281 Ayat 1 dan tindak pidana Pencabulan Pasal 290,292,293,294 dan 296. Dalam pasal 285 KUHP menyatakan bahwa pelaku pemerkosaan dapat diancam pidana selama 12 tahun penjara. Sedangkan di pasal 281 menyatakan bahwa seseorang yang sengaja melanggar kesusilaan diancam penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda Rp.500.000.

 Korban yang mengalami pelecehan seksual selalu kesulitan mengumpulkan bukti atas kasus yang menimpanya sehingga banyak korban yang akhirnya memilih diam. Karena kurangnya bukti membuat korban tidak dapat melanjutkan laporannya untuk dibawa ke jalur hukum. Hal inilah yang membuat korban pelecehan seksual lebih memilih untuk diam atau speak up di media sosial. Karena jika bukti kasus tidak didapatkan, maka proses hukum tidak bisa dilanjutkan.

Memang jika menuliskan kasus seperti ini di media sosial dapat merusak nama baik, namun kebenaran harus terungkap. Seperti yang dituliskan dalam UU ITE pasal 1 ayat 6a bahwa Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.

Jika mengungkap kasus pelecehan seksual di media sosial memang seringkali melewati tantangan yang tidak mudah. Korban sering kali dianggap merekayasa kasus, disalahkan karena bukan lapor polisi tetapi malah berkoar -- koar di media sosial dan lain sebagainya. Korban memilih jalur untuk speak up di media sosial karena dianggap lebih mudah didengar tetapi resikonya akan menuai pro dan kontra. Belum lagi nama baiknya seakan menjadi buruk, namun demi kebenaran maka harus dilakukan.

Mengungkap suatu kejadian pelecehan seksual yang sempat membuat trauma memang tidak mudah. Butuh tekad dan mental yang kuat untuk mengungkapkannya. Apalagi korban pelecehan seksual belum memiliki perlindungan yang cukup kuat di Indonesia. Maka dari itu sebaiknya pemerintah segera mengesahkan RUU PKS yang dinilai penting untuk menjamin korban yang mengalami kejadian pelecehan seksual, serta dapat mengurangi kasus serupa agar tidak terjadi lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun