Di Bulan Oktober, suatu waktu saya membaca jurnal NEJM yang menceritakan seorang senator AS yang hendak mereformasi sistem kesehatan. Baca di sini. Mengapa mereka ingin mereformasi sistem kesehatannya? Jawabannya ada di film SICKO, MIchael Moore. Film itu menggugat sistem pelayanan kesehatan AS yang mengakibatkan sebagian warganya hidup susah tanpa memiliki asuransi kesehatan. Namun konyolnya lagi, pemegang asuransi kesehatan pun masih harus ketar-ketir (istilah Jawa : harap-harap cemas), akankah ongkos berobatnya diganti oleh asuransi. Akibatnya, beberapa warga sengaja pergi ke Kuba untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai dan harga murah. Bagaimana di Indonesia? Asuransi masih belum menjadi minat bagi sebagian besar orang Indonesia sehingga kasus-kasus pengingkaran klaim kesehatan sepertinya belum terekspos. Di Indonesia, masyarakat terutama warga miskin masih mengeluhkan biaya berobat yang mahal dan tidak terjangkau, pelayanan yang kurang ramah, dan jauhnya fasilitas kesehatan. Sementara sebagian golongan yang kritis mempertanyakan etik profesi kedokteran dalam menjalankan tugasnya. Mereka mencurigai adanya kolusi dokter dengan industri farmasi maupun dengan penyedia layanan kesehatan. Dalam sebuah diskusi mengenai sistem kesehatan yang ideal bagi Indonesia, disebutkan bahwa negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Jerman, Inggris, Sri Lanka dan Kuba telah berhasil membangun sistem pembiayaan nasional yang maMenkes Endang Sedyaningsih, dalam keterangan program 100 hari-nya, menerangkan akan ada hal-hal yang menjadi perhatiannya. Diantaranya usaha untuk membudayakan obat generik berlogo, imunisasi massal, pembangunan infrastruktur seperti sarana air minum bersih dan WC, revitalisasi fungsi Puskesmas dan Posyandu. Peran Pemerintah Bila mengacu pada program 100 hari, terlihat bahwa program-program tersebut terinspirasi untuk mewujudkan MDGS 2015. Namun, apakah semua itu akan menuntaskan keluhan masyarakat mengenai pelayanan kesehatan di Indonesia? Tanpa mengecilkan program tersebut, namun peran pemerintah sebenarnya lebih diperlukan dalam membuat suatu sistem (grand design) kesehatan nasional. Dengan sistem, tujuan MDGS maupun HDI (Human Development Index) akan lebih cepat terwujud. ASURANSI KESEHATAN NASIONAL UU no. 40 tahun 2004 mengamanatkan pemerintah untuk mengimplementasikan Sistem Jaminan Sosial Nasional paling lambat dalam kurun waktu 5 tahun. Namun hingga sekarang, konsep SJSN masih belum jelas. Menurut Prof. DR. dr. Hasballah, yang diperlukan adalah komitmen untuk mewujudkannya ASURANSI KESEHATAN NASIONAL (MUNGKIN BAGIAN DARI SJSN) MENJADI TITIK TOLAK REFORMASI KESEHATAN Bila berbicara mengenai subsidi, pastilah pemerintah akan hitung-hitungan biaya. Begitu pula bila pemerintah berkomitmen untuk membangun asuransi kesehatan nasional, yang didalamnya ada pengobatan gratis, mau tidak mau pemerintah harus membuat design yang apik. Supaya anggaran tidak kolaps. Dari sinilah, pembenahan-pembenahan di sektor kesehatan akan dimulai. Dimana pemerintah perlu menyusun kebijakan mengenai obat, mengenai pemeriksaan penunjang, mengubah orientasi kesehatan dari sebelumnya kuratif menjadi preventif. Sehingga pada akhirnya, terbentuk program-program yang terpadu, dan mensejahterakan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H