Judul Buku : Media dan Kekuasaan (Televisi di Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto)
Penulis : Ishadi SK
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun terbit : 2014
Jumlah hal : 286 hal
Isbn buku : 978-979-709-810-0
Ishadi SK, melalui riset doktoralnya di Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, mencoba menggambarkan dinamika yang terjadi di dalam tiga stasiun televisi swasta yaitu RCTI, SCTV, dan Indosiar. Dalam kaitannya dengan berjalannya reformasi. Ishadi SK pernah menjadi direktur utama TVRI yang saat itu sebagai televisi pemerintah, kemudian direktur operasional TPI, dan saat berlangsungnya reformasi mengemban jabatan strategis, yakni Dirjen Radio, Televisi dan Film Departemen Penerangan, kemudian setelah reformasi mendirikan televisi swasta TRANS TV. Semua posisi yang pernah diemban Ishadi SK, membuatnya memahami betul apa yang terjadi dalam dunia pertelevisian, sekaligus memiliki akses untuk menyelesaikan risetnya tersebut.
Televisi di Indonesia, pada awalnya (yakni TVRI) dibentuk sebagai alat politik kekuasaan. TVRI sebagai televisi pemerintah, hanya berisi konten acara yang didikte pemerintah, dengan pegawai semua merupakan pegawai pemerintah, sehingga sulit lepas dari kendali pemerintah. Terdapat larangan mengundang narasumber yang dinilai akan membahayakan pemerintah.
TVRI juga sekaligus menjadi tolak ukur bagi Soeharto untuk mengetahui sejauh mana bawahannya bekerja, sehingga setiap menteri dan departemen ramai-ramai memesan TVRI untuk meliput acara seremonial berupa acara peresmian dan pidato pembukaan proyek pemerintah. Sehingga acara TVRI begitu padat dengan konten pemerintah yang tak diminati oleh masyarakat.
Dengan situasi demikian, maka lahirlah televisi swasta pertama, yaitu RCTI pada tahun 1989, kemudian disusul SCTV, TPI, Indosiar, dan ANTV. Televisi swasta awalnya diberi izin siaran lokal, kemudian me-nasional. Tidak sembarang pihak atau orang mampu mendirikan televisi swasta. Perizinan yang ketat dari rezim orde baru, membuat hanya keluarga dan kroni orba yang mendapat previlege. Seperti RCTI, SCTV, dan Indosiar, dikuasai oleh keluarga dan kroni Orba.
Begitu pun dengan TPI yang dimiliki Siti Hardiyanti Rukmana, anak Soeharto, dan ANTV yang dimiliki pengusaha Aburizal Bakrie dan politisi Golkar, Agung Laksono. Pihak lain yang bukan keluarga atau kroni Soeharto, jangan berharap mendapatkan izin. Hal ini dialami oleh pengusaha muda Husein Naro, anak Ketua Umum PPP, yang mengajukan izin pendirian televisi swasta sejak 1980, jauh sebelum kehadiran RCTI, namun selalu ditolak.
Lahirnya televisi swasta, juga mengubah media televisi yang semula hanya sebagai alat kekuasaan, menjadi alat akumulasi kapital (ekonomi). Kontrol pemerintah terhadap televisi swasta pun masih kuat, dengan adanya seperangkat aturan dan larangan, juga karena mayoritas pemilik televisi adalah keluarga dan kroni rezim pemerintah.
Kelahiran stasiun televisi swasta yang lebih berorientasi pada profit, membuat televisi mencoba memiliki tayangan alternatif yang mampu menandingi acara TVRI, termasuk berita, walau masih ada larangan untuk menyiarkan berita sendiri. Namun televisi swasta mempunyai ide yang bisa mereka lakukan untuk kemajuan media mereka, seperti RCTI mulai menyiarkan Seputar Indonesia yang berawal dari Seputar Jakarta, sebuah program berita yang berbentuk softnews. Bentuk acara berita semacam ini yang lebih menitik beratkan pada human interest bukan pada peristiwa yang berbentuk hardnews,dan Seputar Jakarta berhasil lolos dari larangan pemerintah, sekaligus laku di masyarakat.
Lalu SCTV memiliki acara Liputan 6, dan Indosiar memiliki acara Fokus. Untuk membangun program berita, televisi swasta merekrut jurnalis muda yang baru lulus atau jurnalis dari surat kabar, karena sangat sulit merekrut jurnalis dari TVRI yang sudah cukup nyaman dengan fasilitas yang diberikan pemerintah, seperti jaminan pensiun, maupun suasana kekeluargaannya. Efek dari rekrutmen yang berasal dari lulusan baru dan jurnalis surat kabar, membuat warna idealisme jurnalistik semakin menguat di televisi swasta.
Menguatnya idealisme jurnalistik mulai terlihat dari kejadian di bulan Mei 1998. Jajaran redaksi Indosiar, SCTV, dan RCTI yang awalnya masih mencoba untuk membela Soeharto lewat kebijakan pemberitaannya namun lambat laun memberontak, mereka pun ikut serta menyiarkan aksi-aksi demonstrasi yang menyerang Soeharto. Pada bulan Mei, terdapat beberapa tahapan pemberitaan yang mungkin disebut pemberontakan media.
Pertama, pada awal Mei 1998 pemberitaan masih terkesan hati-hati dan lebih menitik beratkan deskripsi peristiwa dibanding substansi peristiwa atau hanya sebatas deskripsi peristiwa.