Ada sebuah ironi mencolok di negeri ini: di satu sisi, individu yang berpegang pada kecerdasan akademik sering kali dicap sebagai "omon-omon," sekadar orang yang omong besar tanpa relevansi praktis.Â
Namun, di sisi lain, banyak pejabat publik yang justru berlomba-lomba mengejar gelar akademik sebagai simbol prestise dan legitimasi sosial. Ini menciptakan kontradiksi besar di tengah masyarakat, di mana kecerdasan dihargai secara simbolis tetapi seringkali diremehkan dalam praktik.
Fenomena ini mengungkap betapa paradoksal situasi di dunia politik dan sosial kita. Para pemikir kritis yang mengabdikan diri pada ilmu dan proses intelektual sering kali dianggap angkuh atau tidak membumi.Â
Mereka dijuluki "omon-omon," dengan konotasi negatif bahwa pembicaraan mereka terlalu abstrak dan jauh dari realitas sehari-hari. Sebaliknya, ada pejabat yang terlihat getol mengumpulkan gelar akademik, sering kali tanpa mempraktikkan esensi ilmu yang mereka cari proses berpikir kritis dan refleksi yang mendalam.
Mengapa para pejabat begitu tertarik mengejar gelar akademik? Ada beberapa alasan, mulai dari kebutuhan meningkatkan citra hingga keinginan untuk memperkuat otoritas di mata publik.Â
Gelar akademik sering kali menjadi tanda prestise, seolah-olah dengan menyandangnya, seorang pejabat dianggap lebih kompeten atau lebih layak memimpin. Namun, di balik gelar-gelar itu, sering kali ada sedikit bukti bahwa nilai-nilai akademik seperti berpikir kritis, berbasis bukti, dan analisis mendalam benar-benar diterapkan dalam keputusan-keputusan yang diambil.
Ini memperlihatkan kontradiksi yang jelas dalam hubungan masyarakat kita dengan ilmu pengetahuan. Akademisi dan pemikir kritis dicurigai, bahkan dicemooh, sementara gelar akademik dianggap tiket menuju legitimasi tanpa perlu menghormati proses berpikir di baliknya.
 Fenomena ini pada akhirnya merugikan publik, karena kita hidup di dunia yang semakin kompleks dan membutuhkan pemikiran kritis, inovatif, dan berbasis bukti untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Alih-alih menghargai kecerdasan intelektual sebagai landasan bagi kepemimpinan yang bijak dan penuh perhitungan, kita terjebak dalam budaya pencitraan, di mana simbol gelar lebih penting daripada substansi keilmuan. Ini adalah sebuah paradoks yang menghalangi kita untuk maju sebagai masyarakat yang menghargai ilmu dan pemikiran mendalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H