Perilaku anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan pola asuh yang mereka terima sejak dini. Salah satu fenomena yang sering terjadi adalah anak-anak yang tumbuh menjadi pemarah karena mereka dibesarkan oleh orang tua yang memiliki kebiasaan marah atau menunjukkan perilaku agresif. Ini bukan sekadar kebetulan, melainkan hasil dari siklus emosional yang terulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.Â
Artikel ini akan membahas bagaimana anak-anak bisa menjadi pemarah akibat pengaruh orang tua yang pemarah, dan mengapa penting untuk memutus lingkaran ini.
Lingkaran Emosional: Orang Tua Pemarah Melahirkan Anak Pemarah
Ketika orang tua sering menunjukkan kemarahan, baik melalui kata-kata kasar, teriakan, maupun sikap agresif, anak-anak cenderung menyerap perilaku ini sebagai norma. Anak-anak belajar melalui observasi, dan ketika mereka melihat orang tua mereka mengekspresikan frustrasi atau kemarahan secara berlebihan, mereka cenderung meniru perilaku tersebut. Akibatnya, mereka mulai mempercayai bahwa kemarahan adalah cara yang sah untuk menghadapi masalah atau mengekspresikan emosi.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh kemarahan seringkali merasa tidak aman, cemas, dan lebih cenderung mengembangkan masalah perilaku.Â
Kemarahan yang dilihat setiap hari membuat mereka bingung mengenai cara mengelola emosi mereka sendiri. Tanpa bimbingan yang tepat, anak-anak ini mungkin akan merespons situasi dengan cara yang sama meluapkan kemarahan.
Dampak Psikologis dari Kemarahan Orang Tua
Tidak hanya perilaku pemarah yang menjadi masalah, tetapi juga dampak emosional yang dihadapi oleh anak-anak tersebut. Anak-anak yang hidup di bawah tekanan kemarahan orang tua mungkin mengalami beberapa masalah berikut:
1. Rendahnya rasa percaya diri
Kemarahan terus-menerus dapat membuat anak merasa tidak berharga atau merasa bersalah. Mereka mungkin merasa bahwa mereka adalah sumber kemarahan orang tua.
2. Masalah dalam hubungan sosial
Anak-anak yang terbiasa dengan kemarahan sering kesulitan menjalin hubungan yang sehat dengan teman-teman sebaya. Mereka mungkin cepat tersinggung atau bereaksi dengan cara yang sama seperti yang mereka lihat di rumah.
3. Kesulitan mengelola emosi
Anak-anak ini mungkin tidak memiliki keterampilan yang cukup untuk mengekspresikan emosi mereka dengan sehat. Akibatnya, mereka lebih sering terjebak dalam perilaku agresif atau emosional.
Memutus Lingkaran: Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua?
Mengatasi siklus ini tidak mudah, tetapi bisa dilakukan dengan kesadaran dan usaha. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mengurangi dampak buruk kemarahan terhadap anak-anak:
1. Kontrol diri orang tua
Orang tua perlu menyadari bahwa anak-anak mereka mengamati setiap tindakan mereka. Menciptakan kesadaran untuk tidak bereaksi secara agresif saat menghadapi masalah adalah langkah pertama untuk memutus siklus.
2. Komunikasi yang efektif
Alih-alih meluapkan kemarahan, orang tua bisa mengajarkan anak-anak cara berkomunikasi secara tenang dan konstruktif. Misalnya, alih-alih berteriak, ajak anak bicara tentang apa yang mereka rasakan dan bagaimana cara terbaik untuk mengatasinya.
3. Berikan contoh yang baik dalam manajemen emosi
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Orang tua yang mampu mengelola stres dan emosi mereka dengan baik, secara tidak langsung mengajarkan anak-anak cara yang sehat untuk mengelola emosi.
4. Minta bantuan profesional jika diperlukan
Jika orang tua merasa kesulitan mengontrol kemarahan atau melihat anak mulai menunjukkan perilaku agresif, tidak ada salahnya meminta bantuan dari psikolog atau konselor keluarga.
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kemarahan dari orang tua memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan perilaku pemarah di masa depan. Lingkaran emosional ini dapat terus berlanjut jika tidak ada upaya untuk memutuskannya. Orang tua memegang peran penting dalam membentuk emosi dan perilaku anak, dan dengan kesadaran serta upaya yang tepat, mereka bisa membesarkan anak-anak yang lebih tenang, sabar, dan mampu mengelola emosinya dengan baik.
Lingkungan keluarga yang sehat dan penuh dukungan emosional adalah kunci untuk memutus siklus kemarahan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H