Sudah seminggu berlalu sejak Dita pertama kali menjejakkan kakinya di kota ini. Sebagai mahasiswa baru yang berasal dari sebuah desa kecil, kepindahannya ke ibu kota demi mengejar pendidikan terasa seperti mimpi yang menggetarkan. Udara panas kota besar, suara bising kendaraan, dan hiruk-pikuk orang-orang yang bergegas membuatnya tersadar bahwa kehidupannya akan berubah total.
Hari pertama di kampus begitu mendebarkan. Gedung-gedung tinggi menjulang dan koridor-koridor yang dipenuhi mahasiswa membuatnya merasa kecil. Di desa, semua orang mengenal satu sama lain, tetapi di sini, Dita hanyalah satu dari ribuan wajah tak dikenal. Ia merasakan ketidakpastian melingkupinya.
Di kelas pertamanya, ia duduk di bangku paling belakang, mencoba mencerna materi yang disampaikan dosen sambil memikirkan bagaimana ia bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya ini. Selama kuliah, matanya sesekali melirik ke arah mahasiswa-mahasiswa lain yang tampak lebih percaya diri. Beberapa dari mereka sudah saling kenal, tertawa dan berbincang. Sementara Dita hanya duduk diam, merindukan keluarganya dan kehidupan sederhananya di desa.
Hari-hari pun berlalu. Di asrama, ia sering terbangun tengah malam karena merasa asing dengan suasana baru ini. Kamar sempit yang disewa di pinggiran kota seolah menjauhkan kenyamanan rumah. Dinding tipis kamar membiarkan suara kendaraan lalu-lalang masuk ke dalam, membuatnya semakin sulit untuk tidur nyenyak.
Namun, lambat laun, Dita mulai menyadari bahwa semua ini adalah bagian dari proses yang harus dilaluinya. Ia mencoba keluar dari zona nyaman, memulai percakapan dengan teman sekelas. Awalnya kaku, namun lama-kelamaan percakapan mereka mulai mengalir lebih lancar. Salah satu teman baru yang ditemuinya adalah Sari, mahasiswa yang berasal dari kota kecil di pulau sebelah. Sari pun merasakan hal yang sama: kehilangan dan kesepian di kota baru.
Persahabatan antara Dita dan Sari tumbuh dengan cepat. Mereka sering belajar bersama, bertukar cerita tentang kampung halaman masing-masing, dan bersama-sama menjelajahi kota. Dita akhirnya mulai merasakan bahwa meskipun ia jauh dari rumah, kota ini mulai terasa lebih akrab. Kehidupan di kampus tidak lagi menakutkan. Ia semakin percaya diri untuk berbicara di depan kelas, aktif dalam diskusi, dan mengikuti organisasi kemahasiswaan.
Waktu terus berjalan, dan kini sudah tiga bulan Dita menetap di kota ini. Apa yang dulu terasa asing kini menjadi bagian dari rutinitasnya. Suara bising kota besar yang dulu mengganggunya kini menjadi musik latar yang menemaninya setiap hari. Ia belajar bahwa meskipun tantangan di awal terasa berat, proses adaptasi adalah sesuatu yang pasti bisa dilalui dengan ketekunan dan kemauan.
Di hari itu, saat ia berdiri di depan jendela kamarnya yang sempit, Dita tersenyum. Kota ini memang jauh dari rumahnya, tetapi di sinilah ia menemukan kekuatan dan kemandirian yang selama ini belum pernah ia sadari ada dalam dirinya. Kota ini adalah rumah keduanya.
Langkah pertamanya di kota baru sudah dimulai, dan ia yakin banyak petualangan menarik yang menantinya di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H