Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Balik Rekor Muri Kapak Algojo dan Perawan Vestal, Kompasianer Widz Stoops dan Rudy Gunawan Layak Mendapatkan Nobel Literasi

6 Oktober 2024   09:39 Diperbarui: 6 Oktober 2024   09:46 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bareng bareng foto bersama (doc.pri)

 

Kalau ada penghargaan Nobel literasi di dunia ini maka saya akan ajukan 2 nama, Widz Stoops dan Rudy Gunawan. Dua  sosok yang peranannya begitu besar dalam menyatukan beragam ide penulis lintas suku suku, lintas agama, antar etnis di Indonesia menjadi sebuah novel menawan berjudul Kapak Algojo dan Perawan Vestal. 

Judul yang jauh dari lokal wisdom Indonesia akan tetapi tokoh sentralnya berasal dari Makassar dengan setting beberapa di Eropa dan ending Jakarta. Dari lokal, meng-Indonesia lalu mendunia. Novel dengan tokoh Segara, nama khas Indonesia. 

Gambar depan dan belakang novel, doc.pri
Gambar depan dan belakang novel, doc.pri
Bercerita tentang dendam Daeng Marradia atau Craen Mark pada keluarga Segara.  Penyebab dendam adalah  Karmila Daeng Macora gadis pujaan sekaligus yang 'digadang-gadang' menjadi perawan Vestal oleh Daeng Marradia, diambil oleh Bayu Daeng Saloko dan dijadikan istrinya. Karmila dan Bayu Saloko adalah orang tua dari Segara. Usia 4 tahun harus melihat kematian bapaknya yang dibunuh dengan sebuah kapak algojo. Tidak hanya itu, ibu dari anak ini diculik oleh si pembunuh. Segara dibiarkan hidup untuk membalas dendam, mencari sang pembunuh ayah dan penculik ibunya. 

Dalam perjalanan mencari pembunuh inilah kisah Segara bergulir sangat menarik, ramuan kesedihan dengan cinta dan dendam akhirnya bisa mempertemukan dia dengan ibu dan adiknya.

Perawan Vestal, pembunuh, Segara dan  keluarganya menjadi jalinan cerita yang kemudian memunculkan adegan-adegan action juga romantis. Setting tempat dari Berlin, Paris, Jakarta, Purwosari, Singosari dan Jeneponto membuat novel hidup. 

Dengan sentuhan sejarah di sana sini juga   adat dan budaya Makassar yang begitu kental membuat novel ini seperti cara lain mengenalkan budaya Indonesia pada dunia.

Saya bangga menjadi bagian dari penulis novel ini. Entah bagaimana menjelaskan, tetiba saya tertarik mempelajari Jeneponto, Makasar juga tempat -tempat lain. Bukan hanya untuk kepentingan menghidupkan cerita seperti kata Wuri Handoko dan Deni De Kaizer juga Pak Hensa  yang menyebut google map mempunyai peranan besar sebagai referensi latar, lebih dari itu saya belajar aneka ragam budaya, Indonesia dan belahan dunia lain, Jerman juga Eropa. Jadi tahu dan tentu saja ingin berkunjung ke tempat tempat yang disebut dalam novel.

Novel ini, akhirnya berbuah manis, bukan hanya bisa terbit sesudah 3 tahun penantian di tangan editor Khrisna Pabhicara, akan tetapi juga mampu memecahkan Rekor Muri. Buah dari kolaborasi ide dan eksekusi Kompasianer Widz Stoops yang bermukim di Florida US dan Rudy Gunawan, Kompasianer numerolog pertama di Indonesia yang bisa mewujudkan novel ini layak masuk MURI.

Rudy Gunawan dan Sertifikat MURI (doc.pri)
Rudy Gunawan dan Sertifikat MURI (doc.pri)
"Ketika ada yang bilang, wah ini novel baru pertama kalinya lo di Indonesia bahkan di dunia. Satu judul ditulis rame- rame oleh banyak orang. Penulis dengan berbagai latar belakang profesi. Maka pikir saya, iya juga ya. Mungkin pertama kali di dunia, maka saya pikir layak juga masuk rekor MURI," urai Rudy Gunawan asal Makasar  akrab dipanggil Acek Rudy Penulis novel  Berdansa dengan Kematian terbitan Gramedia.

 Satu hal yang juga sepakati oleh perempuan pemilik ide Widz Stoops. Dialah yang memiliki ide membuat novel keroyokan, terinspirasi event challenge Kompasianer cantik kawakan berjuluk Ken Dedes Lilik Fatima Azzahra. 

Senyum hangat Mbak Widz, bersedia memeluk saya (doc.pri)
Senyum hangat Mbak Widz, bersedia memeluk saya (doc.pri)
"Waktu itu saya berpikir wah asik juga bikin novel keroyokan seperti punya mbak Lilik. Waktu itu mbak Lilik bikin cerita, dengan ending menggantung yang bisa dilanjutkan penulis lain, ini inspirasi," ucap wanita biasa dipanggil Mbak Widz ini.

Dilontarkan pada Kompasianer asal Pekanbaru Warkasa, founder web blog Secangkir Kopi Bersama atau Eskaber. Sehingga dibuatlah event menulis novel bareng, keroyokan hingga mencapai 33 penulis. Bhinneka tunggal Ika, berbeda latar belakang dan profesi penulis namun dengan satu tujuan, menulis untuk novel Kapak Algojo dan Perawan Vestal hingga ending, selesai. Berbeda-beda tetapi tetap satu jua.

"Ide ini dari mbak Widz, yang kami sebut Ratu Event, Eskaber melaksanakan sesuai arahan Mbak Widz," tutur Dini, salah satu penulis dengan nama belakang sama dengan Warkasa 1919.

Beda dari event yang di challengekan oleh Lilik Fatima Azzahra adalah event direncanakan dikemas serius. Ada editor yang mengawal ketersambungan cerita dan memoles materi lebih berkualitas. 

"Saya hubungi Khrisna Pabhicara, Alhamdulillah bersedia menjadi editor, maka mulailah pengumpulan materi itu," tutur Widz Stoops saat acara launching pemecahan rekor MURI Novel Kapak Algojo dan Perawan Vestal di Sahasra Coffee, Senyawa+ Space, Jl. Raden Saleh Raya No.46A, Cikini, Menteng, Central Jakarta City, Jakarta.

Dihadiri para penulis dari berbagai belahan Indonesia saya mendapatkan pula kesempatan presentasi, menceritakan bagaimana proses menulis novel dengan giliran bab 15 di halaman 144 berjudul Doa di Ujung Nyawa.

Saya Menyaksikan Mas Han presentasi (doc.pri)
Saya Menyaksikan Mas Han presentasi (doc.pri)
Saya menikmati menulis novel ini, beruntung dapat giliran sesudah Ayah Tuah, menjadi tidak ada kesulitan karena saya terbiasa melanjutkan tantangan menulis Ayah, terakhir cerpen Percakapan-percakapan yang tertinggal. Bab yang saya tulis sarat adegan perkelahian, ini karena Segara diculik dan berusaha melepaskan diri di dalam mobil penculik. Naskah yang saya kirim ke Khrisna mendapat editan di beberapa bagian, terutama di kalimat makian.

Itu kira kira yang saya ucapkan di hadapan kawan-kawan penulis lain. Sebelum itu menandatangani replika cover buku berukuran besar yang juga ditandatangani semua penulis.

img-20241004-145258-6701f6f4ed64150f915f4252.jpg
img-20241004-145258-6701f6f4ed64150f915f4252.jpg
Bahagia, tanda tangan penanda saya ikut jadi bagian kegiatan literasi ini.( Doc.pri)

Suasana penuh kehangatan, tak ada sekat profesi dan jabatan, apalagi agama atau suku atau etnis, kami berbaur. Berbagi kebahagiaan saja, membincangkan betapa asiknya menulis bersama.

Bareng bareng foto bersama (doc.pri)
Bareng bareng foto bersama (doc.pri)
Inilah ruh yang saya maknai sebagai menulis dengan rasa kekeluargaan. Merasa sebagai sebuah keluarga walau tidak tercantum dalam Kartu Keluarga. 

Kue buku congratulation, tercantum nama nama penulis , bak Kartu Keluarga (doc.pri)
Kue buku congratulation, tercantum nama nama penulis , bak Kartu Keluarga (doc.pri)
Saya bahagia bisa bertemu, berjabat tangan dengan Kompasianer lain, berpelukan, bercipika cipiki, potong kue bareng, foto bareng. Duhai, inilah indah kebersamaan. 

Maka tak berlebihan jika saya mengatakan Mbak Widz, Acek Rudy layak mendapat Nobel perdamaian literasi. Karena dengan kegiatan literasi yang mereka upayakan rasa damai, rasa kebersamaan muncul organik, tak ada tekanan tanpa paksaan untuk kami harus mengedepankan perdamaian. Sampai rela datang walau jarak, waktu memisahkan.

Berandai-andai bila saja bangsa yang sedang bertikai, Israel, Palestina, Suriah, Ukraina juga negara konflik lain punya ide seperti Mbak Widz, menulis bareng satu tema, perbab beda penulis menuju ending yang sama, maka selesailah urusan tikai bertikai. Dunia damai karena kepentingannya sama, indah di akhir cerita.

Foto bareng semua yang hadir (doc.istimewa)
Foto bareng semua yang hadir (doc.istimewa)
Pada kawan yang telah datang saya haturkan rindu jumpa lagi, semua yang telah saya sebut maupun yang belum, seperti Pak Budi Susilo yang saya ingin selalu duduk di samping, Bemby Cahyadi yang saya tak henti menatap saat presentasi awal, Istri Bang Indra Rahadian yang menyeruakkan keharuan duka almarhum, Mas Wuri Handoko atau Mas Han yang sedari dulu ingin saya bertemu sebab suka Headline, Mbak Ester yang hangat dan ingin selalu saya peluk, Mbak Muthiah yang ramah perhatian laiknya saudara, juga Syahrul Chelsky Kompasianer yang kenal saya sedari kuliah, menikah hingga kini jadi perangkat desa. 

Berkat Syahrul saya diingatkan untuk VC dengan pasangan menulis kasmaran saya Ikhlas atau Julak Anum, Ahay. Sebuah nama yang memantik diksi romantis saya untuk berpuisi hingga hubungan kami sedekat bunda dan anak.

Pak Fery dan Pak Merza (Doc.pri)
Pak Fery dan Pak Merza (Doc.pri)
Juga pada Pak Fery Widiatmoko, Kompasianer yang dahulu pernah ketemu saya ke kantor Kompasiana 2018 akhir juga pak Merza Gamal yang baru gabung terakhir, bukan peserta menulis namun terpantik datang sebab rasa keluarga sebagai Kompasianer.

Pada yang belum datang semoga suatu saat kita dipertemukan, mungkin akan dibuat sequel saya ajukan sangat berminat. Walau tak ada rekor MURI tak apa. Persaudaraan ini sungguh indah dilanjutkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun