Dari situlah Iqbal mulai menjelaskan bahwa ia seorang anak yatim karena ayahnya sudah meninggal.
Sedangkan ibunya berjualan sarapan pagi di rumah.
"(Ibu) jualan sarapan pagi dekat rumah, jualan lontong. Kalau ayah sudah almarhum," jawab Iqbal.
***
Kenapa mirip dengan kisah buah hatiku dulu?  Apa memang begitu banyak nasib  seperti itu dialami pemuda negeri ini?
Dahulu,  putraku yang namanya kebetulan sama Muhammad Iqbal sedang akan mengikuti semester pertama Mapaba, Masa Penerimaan Mahasiswa Baru di UIN. Demi kelancaran, sepatu mengusahakan pinjam,  juga baju dan celana yang kemudian  berkat nasib baik dia bisa beli meski di loak an.
Alasannya sama, Â ya memang tidak punya uang untuk beli maka pinjam adalah pilihan, Â terbaik dari pada tak ikut Mapaba, Masa Penerimaan Mahasiswa Baru di UIN maliki Malang.
Meski barang yang dipakai jauh dari layak Iqbal bergeming, Â sudah biasa pakaiannya no branded jadi dia tak ada masalah. Sama sepertiku yang tidak punya baju bagus. Jangankan branded, baju baru saja jauh dari jangkauan, lungsuran itu biasa. Bukan thrifting yang harus beli, kami memakai bekas pakai pemberian orang. Â Kalaupun pernah mengenakan baju baru itu pasti seragam sekolah untuk mengajar.
Tak ada masalah dengannya menempuh status sebagai mahasiswa, Â terbiasa hidup susah dia lakukan, apapun menghidupi diri dengan UKT paling rendah yang bisa terbayar dari donasi dan beasiswa.
Tahun pertama dia lewatkan di Ma'had, wajib untuk seluruh mahasiswa UIN. Biaya hidupnya lumayan mahal untuk ukuran kami, apalagi biaya mengerjakan tugas kuliah. Beruntungnya di ma'had dia tinggal dengan ratusan anak yang tidak sepemikiran dengannya untuk bertahan hidup.
Iqbal tanpa malu menjadi pemulung botol-botol plastik bekas minum kawannya. Mengumpulkan lalu menjual ke pemulung, Â hampir dilakukan setiap hari dengan harga jual Rp. 3500 perkilo. Kadang dapat sekilo kadang 2. Katanya cukup untuk beli makan yang di UIN harga paling rendah Rp. 5000 hanya nasi dan kuah sayur serta aitlr putih.
"Yang penting wareg Mi, " tuturnya.