Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ritual Pagi "Emak", Sekolah Hati yang Terus Kuikuti

6 Desember 2020   22:15 Diperbarui: 6 Desember 2020   23:16 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


"Nduk, sisa nasi taruhlah di sarangan. Jangan dibuang."

Begitu selalu yang dikatakan perempuan sepuh penemanku menghabiskan sendiri di rumah suami itu. Menjadi "anak"nya selama lebih dari 20 tahun menjadikanku kenal betul dengan pesan yang tersirat maupun yang tersurat dari lisannya.

Pagi adalah hari piket tanpa libur untuk perempuan-perempuan sepertiku. Membereskan rumah hukumnya wajib agar kalau keluar untuk bekerja sudah tak ada tanggungan diselesaikan. Mencuci piring, pakaian dan bersih-bersih rumah. Rutinitas yang kalau diabaikan berdampak pada kepikiran, mengganggu konsentrasi pekerjaan.

Memasak kadang kulakukan, bila emak sedang berhalangan, misal sakit atau bepergian menengok saudaranya. Tetapi lebih sering tidak, karena memasak merupakan kesukaan emak. Dia merasakan gairah suka bila bergumul dengan dapur, merasa bahagia bila aku makan lahap.

Sering orang berkomentar, "Enaknya jadi mantu kesayangan, gak pernah masak."

Tak perlu kujelaskan pada yang berpandangan demikian. Aku memang kesayangan, bagaimana tidak? Akulah satu-satunya menantu, suamiku anak tunggal hingga ibu kandungku rela memberikan aku kepada emak.-- begitu kupanggil beliau--.

Itu yang terjadi lewat seribu hari lalu, saat suamiku berpulang. Emak meraung di pelataran kamar jenazah, meminta meronta pada ibuku agar tak membawaku pulang ke rumah bapak-ibu kandungku, yang dulu menyerahkanku pada suami untuk dinikahi.

Emak mertuaku itu memanglah tak punya siapa-siapa lagi. Suaminya telah meninggal, menjanda lama, menemani kehidupan rumah tanggaku seumur usia pernikahanku dengan suami.

"Janganlah menangis bu, ambil saja anak saya, jadikan anak ibu. Anak saya sudah 5, berkurang satu tak apa-apa."

Penuturan ibuku bisa menenangkan histeria emak kala itu. Dengan lembut ibu mengusap pipiku pula. "Kau ikutlah emakmu, teruslah hidup dengannya. Temani dia, kasihan dia sebatang kara."

Aku mengagguk pasrah. Kesepakatan dua orang ibu itu mengusik keibuanku pula. Andai aku jadi mereka pasti bersikap sama.


Maka sejak itu aku tak punya pilihan, menjadi satu-satunya anak emak. Ya menantu ya anak. Tanpa pesaing, kesayangan. Dengan segala romantika kebersamaan. Termasuk kebiasaannya yang tetiba melekat jadi bagian filosofi hidupku kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun