Ubun-ubunku masih terasa sejuk meski perjalanan waktu telah melewati pergantian pertemuan matahari dan rembulan.Â
Betul telah terlepas genggam tangan serta usap jari dari kepalaku. Namun getar gumam doa, dari perempuan yang kami panggil Nyai tetap lekat hingga palung terdalam sudut hati.
Bangku panjang berjajar menyaksikan riuh rendah suara-suara penghafal. Dhoroba yadhribu dhorban. Fa ala yaf alu fa'lan. Melantun lewat mulut-mulut pencari keberkahan.
Kata orang tak masuk akal cium tangan menguatkan hafalan. Tapi aku merasakan benar, bila tak kucium tangan perempuan pendamping Kyaiku itu ketika usai salam fajar, hariku berlangsung hambar.
Tak sepotong kata-kata guru bertengger, tak pula sebiji kata ustadz mampu kuhafal di luar kepala. Belum lagi segudang maksiat mata menggoda, hatiku gelap gulita inginkan silau dunia.
Padahal telah kucatat dunia adalah penjara, usianya sementara. Dengan kilau memabukkan tak terkira. Mencintainya melupakan hidup kekal di tempat yang sesungguhnya.
Aku butuh tangan itu. Juga usap ikhlas  penuh kasih di kepala kosongku. Untuk ikut menjaga hatiku juga akal pikirku. Agar mampu mengingat setiap pelajaran yang kuterima atau kebaikan yang datang menguatkan iman.
Pada mentari yang kuharap terus hadir di pagi hari, kuucapkan salam harapan. Beri aku terus waktu dan kesempatan. Untuk selalu mencium tangan Nyai. Pengawal hari agar terjaga hingga waktu bermimpi.
Anis Hidayatie, Ngroto, 25/11/2020
Dedikasi untuk para bu Nyai yang tak lelah menyalami dan mendoakan para santri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H