Lebaran, meskipun dalam situasi PSBB, angpao, sangu, atau galak gampil, begitu orang Malang menyebut, tetap terpikirkan. Terutama buat anak- anak.
Pada saat lebaran biasa, non PSBB. Anak-anak mendapatkan momennya. Kesempatan bertemu sanak saudara ketika anjangsana merupa panen buat mereka, paceklik buat orang tua. Setahun sekali usia anak dimanjakan, diberi rasa senang berlebihan dengan memberi angpau.
Yang masih balita dan belum mengerti nilai uang, angpau akan diberikan kepada orang tua. Selanjutnyq yang berlaku umum, langsung menjadi hak ayah bunda karena si anak tak mempermasalahkan.
"Nek Riyoyo ngene ki seng nyambut gawe anak e." Kalau hari raya begini yang kerja orang tua. Celetuk salah satu kerabat saya, menanggapi banyaknya titipan sangu buat sang anak berkelakar.
Berbeda perlakuan untuk  anak usia di atas 5 tahun, angpau ini tentu langsung diberikan pada si anak. Kalaupun dititipkan pada orang tua jumlahnya akan terus diingat, sesuai pertambahan jumlah yang dia peroleh.
"Uangku sudah jadi seratus ribu ya sekarang." Kata sang anak sambil menitipkan pada bendahara, ibunya.
"Dihitung terus  ih."
"Iya dong, biar ibu tidak lupa."
Duh, bikin malu itu kalau disampaikan di depan pemberi. Sekaligus menjadi pencair suasana. Bagus juga sih, buat melatih ilmu hitung.
Hari gini, tidak ada lagi anjang sana sini. Anak tidak lagi mendapatkan kesenangan seperti tahun lalu, menerima uang secara langsung lalu menyimpan, bersenang - senang, beli-beli dengan uang tersebut.
Namun, apakah itu berarti anak tidak mendapat angpau? Tidak juga.