Mendapat sarung baru itu ya Ramadan, begitu sepertinya tradisi yang berlaku di keluargaku. Anak saya jagoan, bapaknya juga --Hiks-- selalu berkumpul ketika Ramadan datang.Â
Hiruk pikuk persiapan tarawih atau sholat berjamaah selalu saya saksikan. Tentang siapa yang akan jadi imam, tentang baju layak untuk menghadap Tuhan, juga tentang sarung yang akan dikenakan.
Masing-masing punya sendiri. Hafal motifnya, padahal  menurut saya ya itu-itu saja. Kalau tidak kotak ya garis - garis, atau polos. Tidak pernah saya menemukan corak lain, misal polkadot atau bunga-bunga. Hehe
Mereka sudah menandai sendiri dari warna dan motifnya. Tidak perlu memberi nama, suami saya hafal dengan miliknya. Beda dengan 2 jagoan saya. Bertulis nama panggilan dan asal rumah dengan Huruf kapital. Ditulis dengan spidol hitam permanen di bagian dalam. Misal  : IQBAL kamar 8  MALANG.Â
Maklum, hidupnya banyak dihabiskan di pesantren, jarang pulang. Sekarang saja dia ada di rumah, diwajibkan pulang oleh pesantrennya. Mengingat pandemi Covid-19. Tidak boleh di pesantren. Padahal biasanya jelang hari raya mereka baru tiba di rumah.Â
Pakaian mereka, terutama untuk seragam sekolah, sarung dan handuk diberi nama masing-masing. Menghindari tertukar atau hilang, juga upaya agar tidak mudah tertular penyakit kulit dari santri lain. Hal lazim yang biasanya diderita santri. Termasuk anak saya.
Mereka semua pernah terserang scabies, ituloh penyakit gatal kulit, gudik bahasa jawanya. Saya bawa ke dokter katanya akibat tertular kuman. Sehingga untuk penanggulangan, selain diberi obat, pakaian, selimut, sprei, handuk harus disterilkan dari penyakit.Â
Caranya, merendam barang-barang itu dalam air mendidih. Sesudah itu, jangan pernah kontak, apalagi mengenakan barang yang pernah dipakai mereka yang gudig en.
Berhasil, penerapan metode itu beroleh hasil menggembirakan. Tak pernah gatal lagi, kulit lebih bersih dan kesehatan lebih terjaga. Jarang sakit-sakitan. Baju juga aman, tidak lagi sering lapor kehilangan, padahal dahulu sebulan sekali ada saja pakaian, sarung atau handuk yang hilang.
Untuk baju, rerata warna putih yang dimiliki lelaki di rumah saya atau krem. Maklum, di pesantren warna itu yang dianjurkan. Suami saya juga penyuka warna itu bila sholat. Meski demikian tidak pernah terjadi tertukar. Mereka memakai sesuai milik masing-masing. Hafal benar.
Suasana gaduh tiap jelang sholat itu begitu saya rindukan. Maka untuk tontonan saya suka benar melihat yang berbau fashion, yang khas lelaki. Karena kalau saya sendiri tidak pernah repot dengan baju. Asal bersih cukup. Wong di rumah cuma ada saya dan emak mertua, tidak pernah ribut mengenakan pakaian. Ada mukena untuk dipakai, gantian tak mengapa. Bukan baju ini, yang mesti ganti setiap hari.