Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Yang Ngajar Orang Tua, Apa Masih Harus Bayar SPP?

2 April 2020   16:36 Diperbarui: 2 April 2020   18:38 1185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak belajar di rumah didampingi orang tua dengan panduan guru


Pagi-pagi benar saya disuguhi percakapan menggelitik. Di grup guru-guru TK. Ada sebuah pertanyaan yang diungkapkan wali murid kepada mereka, para guru TK. Yakni tentang keharusan membayar SPP pada masa "libur corona."

Tersebab pembelajaran tak lagi dilaksanakan di sekolah. Guru-guru memberikan pembelajaran berbasis media online, rerata Grup WA, bukan google classroom. WA disukai karena familiar saja. Terbiasa chat di sana. Disamping ke gagapan tentang penggunaan media lain tentu saja. Maklum wali murid TK itu mayoritas "rumpies". Hingga sepertinya yang cocok ya WA itu.

Karena tugas "mengajar" sekarang juga dibebankan kepada wali murid, berbasis panduan dari guru tentang materi yang harus disampaikan pada anak pada hari itu, maka salah satu wali murid sempat pula terpikir. 

"Ini kan kita yang ngajar, harusnya kita yang dibayar, bukan malah harus bayar. Sepertinya SPP tak dibayar tak apa deh."

Itu terungkap ketika salah satu guru, sebut saja Bu Asti bertanya," Bu mau tanya, anak-anak tetep bayar SPP tah?"

Dijawab Bu Ummah, sang ketua IGTKI, Ikatan Guru Taman Kanak-Kanak. "Harusnya iya. Kita kan tetap melaksanakan pembimbingan."

Gemes, meskipun secara de jure saya tak lagi menjadi guru TK, saya utarakan juga pendapat saya. Padahal selama ini hanya rajin nyimak sambil sesekali share artikel tentang daerah atau pendidikan.

 "Wadzau! Ini bikin saya terseret masuk. Ya iyalah. Emangnya hotel. Bayar harian. Sekolah kan paket. Bukan masalah masuk dan tidak masuk. Tapi i'tikad baik orang tua nguwongno guru itu."

Serentak respon diberikan, sepakat. Tak ada satupun bantahan. Hanya ada yang masih bingung bagaimana menyampaikan ke wali murid, supaya tak ada gesekan.

"Cocok bu Anis, Tapi kalau tidak disampaikan dan dijelaskan ke walimurid,  terkadang ada yang i'tikadnya kurang baik."

Saya bertahun tahun pernah menjadi guru dan kepala TK. Tahu rasanya bagaimana menghadapi walimurid. Karena di TK saya, atau mungkin di sekolah lain juga. Yang bersekolah itu satu paket. Siswa dan orang tua. Dalam arti kita melayani dua orang sekaligus. Ya anaknya, ya orang tuanya.

Bagaimana tidak, mereka mengantar, menunggu hingga anak mau pulang. Betul tidak masuk kelas, tapi tingkat mau tahu atau dalam bahasa sopannya peduli, kalau tak boleh saya katakan kepo. Tinggi sekali. Ngintip pembelajaran  itu biasa, melihat anaknya, berkomunikasi dengan mata atau bahasa isyarat tangan dengan anak tak jarang pula. Seperti diawasi guru ini.

Lalu ketika anaknya kenapa-napa, misal tangan belepotan karena cat warna, atau menangis berebut alat permainan, sudah heboh sikapnya. Pintu diketuk, meminta perhatian buat si anak. Duh, ribet eui.

Itu jaman saya dulu sih, waktu gedung sekolah belum ada pagar. Sebelum ada tulisan di gapura pintu gerbang, "Bapak ibu mengantarnya cukup sampai di sini saja ya."

Sekolah sepi, bekajar di rumah
Sekolah sepi, bekajar di rumah
Kini, sudah jauh berbeda.  Tak ada wali murid menunggu di dalam kelas, atau intip-intip di kaca. SOP, kesepakatan antar wali murid dan pihak sekolah yang biasa dilaksanakan di awal pembelajaran, sudah 90 % bisa dilaksanakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun