Menjadi juri lomba baca puisi bukan kali ini  saja saya lakukan. Beberapa kali,  di tempat yang berbeda. Namun, untuk menjawab alasan mengapa keputusan juri demikian,  baru pertama kali saya alami.Di ajang Smaprila Challenge week, Dalam Akbar ( Ajang kreasi baca Al-Quran)  ke 3  SMA PGRI Lawang SMA PGRI.  Ada 3 Macam lomba di sana,  Dai cilik,  Sholawat dan Baca Puisi.
 Sebagai juri ketua, seluruh kriteria sudah saya sampaikan kepada panitia,  untuk diteruskan pada peserta saat technical meeting. Supaya ada kesepakatan pemahaman bahwa yang akan dinilai adalah beberapa hal itu.  Saya sampaikan pula kepada peserta sebelum dimulai acara.  Bahwa untuk  lomba baca puisi, dewan juri akan menilai hal ini :
Pertama, Â Penghayatan. Terdiri atas ekspresi dan penjiwaan yang dilakukan pembaca puisi di atas panggung.
Kedua, Â Gerak. Â Meliputi mimik, pantomimik dan gesture tubuh ketika peserta membacakan puisi.
Ketiga, Â Artikulasi. Â Yakni kejelasan peserta ketika melafalkan atau mengucapkan larik demi larik maupun bait demi bait puisi.
Keempat, Intonasi. Penekanan suara ketika sang pembaca puisi beraksi di panggung lomba.
Berusaha menilai seadil-adilnya. Ada dua juri dilibatkan untuk menilai puisi ini. Â Saya dan Pak Haris, seseorang yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Panitia juga hanya memanggil nomor peserta saja, Â untuk menghindari subjektifitas penilaian.
18 peserta dari perwakilan sekolah menengah di Malang Raya dan Pasuruan ambil bagian. Â Lelaki dan perempuan. Pelaksanaan tertib dan serius. Mata saya fokus tertuju pada mereka ketika tampil. Tidak berani rehat bahkan, Â takut mempengaruhi konsentrasi. Luar biasa, Â untuk usia mereka, saya angkat topi. Â Kepercayaan diri ketika tampil dimiliki rata-rata peserta.
Baru mengurangi ketika ada kesalahan. Jadi detil penampilan saya perhatikan betul. Â Ada yang kuat di artikulasi dan ekspresi, Â tapi miskin ekspresi dan gerak, Â pun sebaliknya. Â Bahkan ada yang over lapping. Teriakan membahana, Â menggetarkan badan pula hingga artikulasinya kurang jelas, mempengaruhi penyajian intonasi. Â Ini tentu saja berpengaruh pada penilaian. Meski penampilan awal mengesankan.
Penampilan peserta terakhir membuat saya bisa bernapas lega. Ada kesempatan rehat, istirahat sejenak sebelum rembug nilai dengan juri 2. Ternyata nilai yang saya berikan mirip dengannya, bahkan jumlah dan urutan rangkingnya. Â Padahal ketika menilai tadi kami tidak berdiskusi atau saling intip. Itu artinya ada kesepakatan di atas kertas tentang kelayakan pemenang. Â Lega, Â tidak perlu lama membahas posisi juara.
Demikian pula dengan 2 lomba yang lain. Tidak ada indikasi main mata. Terus terang saya suka dengan penyelenggaraan lomba di sekolah  ini.  Juri betul - betul mempunyai hak prerogatif.  Tanpa intervensi. Ini akan menumbuhkan persaingan yang kompetitif. Murni, tanpa prasangka akan dicurangi.
Begitupun masih ada yang  saya tak duga sebelumnya. Pendamping peserta mendampingi saya,  menanyakan mengapa anak didiknya tidak mampu menduduki jawara. Â
Bukan jawaban keputusan juri tidak dapat diganggu gugat yang saya berikan. Tetapi senyum hangat dan bahagia. Artinya mereka sedang ingin dikoreksi, atau mengadakan diskusi tentang penampilan mereka.