Fajar Minggu pagi, panggilan adzan bersahutan,  sesuatu yang tak pernah kudengar.  Osaka,  tempat terakhirku berpijak apalagi. Jangankan  kumandang adzan,  orang shalat saja bisa dihitung dengan jari.  Meski mereka muslim, termasuk aku.  Duh, lama nian aku melupakan  ritual itu. Hingga ada seorang Ann,  yang membuatku ingin bisa lagi melakukan.
Ini subuh bro, Â cuma 2 rakaat. Meski malas karena mata masih enggan terbuka. Â Kupaksa bangun pula. Ingin buang air kecil, itu mulanya. Lalu tetiba ingin ambil wudhu juga, Â dengan sedikit pengetahuan yang tersisa. Mengusap muka, Â sampai kaki. Â Lupa bacaan niat, biarlah yang penting aku masih ingat gerakannya.
Menuju kamar ibu yang ada sajadahnya, kudirikan shalat di sana. Bersimpuh,  secara aku tak bisa berdiri. Seperti yang pernah dikatakan  Ann. " Yang penting  shalat,  dengan cara bagaimanapun. Selama napas masih berhembus, selama kesadaran masih ada shalat tetap wajib."
Ibu masih lelap ketika aku menyelesaikan  shalat, bacaan salamku yang agak keras membangunkannya.
" Kau shalat Jin? "
"Iya bu, aku berdoa dulu ya, Â untuk ibu agar segera sembuh."
Bulir bening luruh di pipinya. Â Tangan keriput itu membelai mukaku. Masih dengan posisi duduk aku menghadapnya. Kucium tangan itu.Â
"Ya bu aku shalat. Belajar lagi."
"Alhamdulillah, sejak kapan? "
"Sejak kenal Ann bu, dia selalu ingatkan aku untuk shalat."
"Oh, Â wanita baik dia. Nanti dia ke sini kan? "
"Ya bu, katanya begitu. Dia akan datang pagi ini."
"Syukurlah, Â ibu tak sabar ingin bertemu. Sebentar, Â ibu mau ke kamar mandi, bangunkan ayahmu, Â biar dia bantu ibu berjalan."
Kuturuti permintaan ibu. Ayah yang tidur di ruang tamu kubangunkan. Cepat tanggap, bergegas lelaki itu membantu ibu. Â Ini kenyataan yang memilukan. Mestinya aku bisa menuntun ibu, menolongnya melakukan sesuatu. Â Ini malah aku hanya jadi penonton. Â Useless. Perasaan itu memenuhi ruang kalbu. Â Kaki ini. Ah, kapan akan pulih kembali? Â
Dengan kurk aku berjalan ke dapur mengambil air putih. Juga sedikit nasi. Ya,  nasi. Makanan yang hampir tak pernah kusentuh,  tergantikan roti selama ini. Apalagi selama di Osaka,  bukan tak ada,  tetapi aku lebih suka makan roti. Nasi penyajiannya berbeda di sana. Tak ada yang di taruh bakul  seperti di Indonesia. Dengan piring sebagai tempat utama santap. Setidaknya begitu yang kutemui di beberapa warung makan di Jepang.
Beberapa jenis menu nasi yang  ditawarkan di sana tak ada yang menarikku. Bahkan Donburi -semangkuk nasi polos dengan berbagai topping- yang kata orang nikmatnya tiada dua pun tak membuatku berselera. Apalagi sushi, malas kali aku liat bentuk sajinya. Seperti lontong,  tapi isinya nasi.
Praktis hanya roti yang kusuka. Bahkan ketika di negara lain. Sepertinya hanya roti yang familiar dengan lidahku. Dalam bentuk apapun. Mau tawar, ada rasa atau  dengan isi semua kusuka.Â
Sepiring nasi, dengan lauk tempe dan tahu yang tersedia di meja makan kulahap habis. Â Nikmat sekali rasanya. Masakan Ana, Â istri Ebit yang juga tinggal di rumah ibu. Enak juga makan nasi dengan menu khas rumahku ini.
Harus minum obat, Â itu yang membuatku harus makan sepagi ini. Â Aku tak mau sakit mendera hanya karena terlambat minum obat. Apalagi sebentar lagi Ann datang. Aku mau terlihat baik-baik saja. Tak ingin dia melihatku meringis kesakitan.
Usai acara makan dan minum obat. Â Ann kuhubungi, tidak berani menelpon. Takut dia di perjalanan. Â Kuchat saja.
" Ann, Â aku menunggumu honey."
" Aku masih di Kereta Api, semoga jam 7 nanti sudah sampai  stasiun Bangil. Sesudah itu naik bus. Langsung turun di jalan arah rumahmu."
Berdebar kencang hati ini. Sungguh, sesuatu yang lama tak kurasakan,  sesudah putus dengan Monique. Perempuan  Belanda yang 3 tahun lalu pernah memberiku seorang anak perempuan, Xeva.
Monique, Xeva. Dua perempuan penting yang pernah hadir dalam hidupku. Saat aku masih bertugas di Belanda. Kangen pula aku pada mereka. Ah, Â andai hukum tidak rumit. Tentu aku bisa bahagia dengan mereka. Punya keluarga, anak dan istri. Â Perfect. Aku ingin punya itu semua. Tapi di Indonesia.
Ann, kini aku ingin dia yang menjadi penyempurna hidupku. Harapan besar ini telah kutulis pada permintaan tertinggi. Ketika aku sujud pada Tuhan tadi. Juga doa ibuku. Yang ingin pula menjadikan Ann mantu.
Aku lelah bertualang. Party, Â gonta ganti perempua. Aku hanya ingin pulang sesudah bekerja. Dengan seorang istri menyambut di rumah. Seperti yang berlaku di Indonesia.
"Aku sudah turun dari bus, seperti saranmu. Sekarang aku harus berjalan ke arah mana?" Satu chat dari Ann masuk.
Sadar dari lamunan. Kuambil kurk begegas menuju jalan raya. Sembari membalas chat,"Aku berjalan ke arah jalan raya sekarang."
Sesosok tubuh Ann, Â berjalan melintasi jalan raya. Â Gaun panjang, hijab merah marun, senada dengan warna bajunya. Satu tas ransel berada di punggungnya. Dengan gaya berjalan mirip orang-orang di Osaka. Â Cepat, Â sigap. She is the true journalist.
" Hai, Assalamualaikum. " Suara bening Ann menyapu telinga. "Kita ke rumahmu sekarang kan?"
Aku terpana, dia lebih indah dari yang kuduga. Sapuan bedak tipis di wajahnya sungguh manis. Raut mukanya seperti perempuan -perempuan dari timur tengah, dengan hidung mancung. Tidak putih kulitnya, kecokelatan. Dan, aku suka sekali menatap wajah itu.
Kuulurkan tangan, "I'm Ojin honey, Â welcome to my home."
" Sorry, Â Aku tidak bersalaman dengan lelaki."
Ann menepis ajakanku bersalaman. Dua tangannya dikatupkan. Sesuatu yang tak pernah ketemui. Biasanya, meskipun perempuan dia akan menyambut telapakku. Dia berbeda, aku tidak tersinggung karenannya.
" Baiklah, kita ke rumah ya. Itu rumahku yang ada pohon jambu airnya. Ibu sudah menunggu," satu telunjuk tanganku mengarah ke rumahku.
Pandangan Ann kulihat menyapu arah rumahku. Kami berjalan beriringan, Â menuju ke sana. Â Pintu terbuka. Kupersilahkan Ann masuk. Mengajaknya ke kamar, menemui ibu.
Ann menurut saja, Â mengikuti langkahku.
" Ini Ann ibu, Â calon istriku, Â juga bakal menantu ibu." Nada riang mengiringi ucapanku ketika mengenalkan Ann pada ibu.
" Owh, Â sini nak mendekatlah."
Ann sepertinya masih terkaget dengan caraku mengenalkannya pada ibu. Tubuhnya mematung, Â matanya menyiratkan sorot tanya padaku.
"Ya Bu, saya Ann." Tubuhnya direndahkan, Â duduk persis di samping wajah ibu sembari mencium tangan beliau.
Hening sejenak, Â ibu mengusap kening Ann. " Kaukah calon istri Ojin? "
"Istri?" Satu tanya menyiratkan kebingungan Ann ketika menjawab pertanyaan ibu.
Tergagap, Â matanya tajam mengarah padaku. Aku mengangguk, menyunggingkan senyum. Ann masih bingung rupanya. Â Ah Ann, Â jawab iya saja kenapa sih. Batinku. Â Aku jadi gelisah juga menunggu jawaban dari Ann.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H