Siapakah yang akan membantah pernyataan, ada duka derita ketika kehilangan? Â Separuh nyawa, Â buah hati, Â atau siapa saja yang dicinta? Â Kehilangan selalu saja menorehkan catatan kelam tentang sedih bergelayutan.
Terutama bagi perempuan, bagi kaum ibu,  setidaknya  begitu yang saya rasakan.  Ditinggal kekasih hati,  saat canda ria masih menjadi hiasan setiap hari sungguhlah  memilukan perasaan.  Langit seperti mendengar jerit,  Air ditumpahkan dari atas sana mengiring air mata jatuh, berbaur dengan deras memenuhi permukaan bumi.  Inginnya segera lenyap, bersatu dikebumikan pula,  mendampingi separuh nyawa. Â
Kalaulah bukan demi buah hati,  atau untuk orang orang yang dicintai,  rasanya hidup  merupakan hal yang tak diinginkan lagi.  Hanya energi inilah  yang dimiliki bagi perempuan dengan panggilan ibu ini untuk tetap berdiri menatap berat kehidupan.
Saya, sebagai salah perempuan itu, menyampaikan empati sangat kepada para ibu yang merasakan peristiwa sama dengan saya. Â Bukan hanya kehilangan karena ditinggal meninggal suami, Â pun untuk para ibu yang harus hidup sendiri karena perceraian. Â Untuk buah hati yang kita cintai mari kita perjuangkan hidup ini. Kalau nyawa rela kita pertaruhkan, mengapa berat tantangan kehidupan harus menjadi hambatan?
Menjadi single parent memang berat, bukan hanya tentang berjuang mencari uang untuk nafkah keluarga demi memenuhi kebutuhan. Namun juga bertahan dari godaan dan cemoohan orang. Â
Ibarat buah simalakama,  jika kita diam di rumah, tak melakukan  apa-apa, kebutuhan rumah langka bisa tercukupi.  Saya katakan langka tentu dengan perkecualian bagi mereka yang ditinggali harta warisan berlimpah atau punya penghasilan tetap sebagai sumber penghasilan yang bisa mencukupi kebutuhan.
Namun jika kita keluar rumah cibiran orang dengan status janda yang kita miliki menjadi hal yang sering kita terima. Â Dicurigai sedang menggoda suami orang, Â disangka sedang melakukan perjalanan maksiat, Â seolah menjadi makanan sehari-hari. Â Status ini, Â pernah saya tangisi diawal iddah dulu. Â Tersinggung, Â sensitif ketika ada yang mencandai kata janda.
" Kutunggu jandamu"
" Jangan Ngaku Ganteng  Kalau Belum Punya Pacar Janda"
" Jauhi Narkoba, Â Deketi Janda"
Dan seterusnya, Â Kalimat -kalimat di atas merupakan slogan yang dahulu sangat saya benci. Â Sebegitu menariknya status janda hingga banyak meme bertebaran tentangnya, Â apalagi jika malam jumat tiba. Â Risih saya membaca tag line itu bertebaran di media sosial. Â
Pernah saya utarakan di whatsapp  grup untuk tak lagi mencandai kata janda karena bagaimanapun dia yang sedang diolok - olok itu adalah perempuan,  yang dari rahimnya telah melahirkan anak - anak manusia. Namun kemudia saya dianggap baper,  sensitif,  tidak humoris serta tuduhan lain harus saya terima. Tidak bisa diajak bercanda,  itu capnya.
Maka sekarang saya lebih banyak diam. Â Sambil terus membuktikan bahwa kami, perempuan yang kehilangan separuh nyawa, bisa mandiri. Â Buah hati menjadi menjadi sumber spirit untuk mengarungi hidup ini. Kalau ada yang menggoda, saya diamkan, atau tersenyum saja. Kecuali kalau kurang ajar, Â saya akan lawan dan ambil tindakan.