Berbicara dihadapan guru berbagi mata pelajaran jenjang sekolah lanjutan, yakni guru guru Madrasah Aliyah di MANU Kepuharjo Karang Ploso Malang, saya  mendapati kenyataan bahwa ada sedikit miss persepsi dalam pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Anggapan bahwa harus ada waktu khusus yang disediakan untuk kegiatan literasi saat pelajaran berlangsung rupanya membuat guru-guru berada dalam kegalauan. Kalau mengambil waktu pembelajaran, berarti waktu mereka untuk menyampaikan materi akan terkurangi, belum lagi bila jumlah jam pertemuan telah banyak berkurang akibat banyaknya libur atau kegiatan. Inilah sumber kegelisahan itu. Yang mereka sampaikan kepada saya saat sharing gerakan literasi sekolah.
Sebagaimana diketahui, Gerakan Literasi Sekolah  (GLS) merujuk pada Permendikbud No. 23 Tahun 2015 Penumbuhan minat literasi melalui kegiatan 15 menit membaca. Yang dalam hal ini konteks membaca  merupakan proses ingatan, penilaian, pemikiran, pengkhayalan, pengorganisasian, dan pemecahan masalah.
Bagi saya untuk menumbuhkan minat baca tersebut, tidak berarti harus ada kegiatan dan waktu khusus untuk membaca buku-buku bacaan bebas. Artinya kegiatan literasi ini juga bisa dilaksanakan ketika pembelajaran sedang berlangsung.
Brainstorming, yang oleh Wikipedia ditulis sebagai Curah pendapat (brainstorming) - adalah suatu teknik kreativitas yang mengupayakan pencarian penyelesaian dari suatu masalah tertentu dengan mengumpulkan gagasan secara spontan dari anggota kelompok. Istilah brainstorming dipopulerkan oleh Alex F. Osborn pada awal dasawarsa 1940-an - bagi saya merupakan waktu favorit untuk mengeksplorasi  literasi.
Materi pelajaran yang pernah kita bahas, saya minta untuk dianalisis peserta didik, menemukan permasalahan, menyelesaikannya. Dalam kegiatan ini saya bebaskan peserta didik membaca materi, berdiskusi, lalu menuliskan hasil pemikiran mereka dalam sebuah tulisan.
Poin utama dari kegiatan ini adalah peserta didik mampu mengungkapkan gagasan mereka dalam sebuah tulisan satu atau dua paragraf. Bagi saya itulah kegiatan literasi itu. Ada kegiatan membaca, ada hal yang bisa ditulis dari bacaannya. Bisa dilakukan di awal, di tengah atau ketika akan mengakhiri pelajaran. Ketika guru sedang mengampu mata pelajaran tersebut.
1. Biasakan peserta didik mengonfirmasi informasi yang didapat.
2. Analisislah informasi yang didapat secara menyeluruh.
3. Sampaikan informasi yang telah didapat baik secara tulis maupun lisan.
4. Pahamkan ke setiap individu agar menghargai hak cipta orang lain dengan mencantumkan sumber informasi yang sudah didapat.
Harapan besar dari gerakan kecil ini adalah bisa melahirkan generasi yang mencintai buku, mau membacanya, terlebih bisa terinspirasi mau menulis, membuat buku.
Gerakan Literasi Sekolah ini merupakan upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah baik guru, peserta didik, orang tua/wali murid, dan masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan sehingga membutuhkan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca bagi warga sekolah. Tak terkendali. Utamanya peserta didik, ada dorongan kepada mereka untuk berkarya, menghasilkan sebuah tulisan.
Acara sharing hari itu membuat saya banyak belajar tentang makna gerakan literasi sekolah, tentang bagaimana pelaksanaannya dan tentang persepsi pengampu mata pelajaran mengartikan GLS, Gerakan Literasi Sekolah.
 Guru-guru dalam berbagai mata pelajaran itu memberi saya pengetahuan baru hal-hal yang bisa dilakukan  dalam menerapkan GLS, sesuai dengan bidang studi masing masing. Sehingga untuk mereka saya tawarkan membuat tulisan, artikel, esai atau opini, terkait bidang studi mereka. Ide apa yang mereka punya, apa saja yang bisa guru-guru itu lakukan untuk menyikapi 15 menit  gerakan literasi. Bisa menyertakan pula contoh kegiatan literasi apa saja yang pernah dilakukan pada waktu tersebut. Dikumpulkan, didokumentasikan, dibukukan.
Ya, dibukukan dengan tema Penerapan GLS, Gerakan Literasi Sekolah dalam Mata Pelajaran Saya. Supaya bisa menjadi referensi bagi pendidik lain untuk melakukan hal serupa. Agar terlihat, bisa diambil satu kesimpulan bahwa guru-guru mampu menerapkan GLS, kondisional sesuai dengan kebutuhan mereka.
Jadi, dimanapun, kapanpun, dalam keadaan bagaimanapun, literasi bisa dilakukan dengan menyenangkan, bukan merupakan beban. Inilah satu hal yang ingin saya sampaikan terkait pelaksanaan GLS ini. Menyenangkan, bukan beban pembelajaran. Bukankah demikian? Salam literasim
*****
Teriring terimakasih kepada Bu Enny Wahyuni, inspirasi lahirnya tulisan ini
Malang, 7 September 2019
 KA dari Malang ke Wahana Baca Pasuruan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H