Langit diatas daerah Dotondori gelap gulita, tak satu bintang di sana. Ada mendung menggantung, dengan udara dingin menggigit kulit. Jaket yang kupakai rupanya tak cukup tebal untuk mengusir dingin malam di jalanan Dotondori.
Bertemu teman lama, Lilian dan Emma, dua sahabat dari Belanda yang sedang ada tugas di Osaka. Siang tadi dia menelpon, mengajakku jalan-jalan menyusuri sebagian Osaka. Maka kuusulkan daerah Dotondori ini untuk dinikmati. Mereka setuju. Kupilih satu tempat di pinggir sungai untuk menikmati Shake malam ini, sembari mengusir dingin yang tak jua pergi.
Langit kelam bukan berarti tak ada cahaya, benderang lampu jalanan dan pijar yang dipantulkan dari gedung pencakar langit di sepanjang jalan Dotondori menimbulkan suasana terang., Tidak seperti siang memang, tapi sangat cukup bila untuk memandikan seluruh penghuni Dotondori dengan cahaya. Hingga malam hampir berakhir manusia-manusia yang menjadi bagian dari penikmat keindahan malam masih saja ada.
Kami pun, canda tawa tak ada habisnya, bergelas sake kami habiskan hingga hampir fajar. Satu pertanyaan Emma, membuatku mengakhiri tegukan minum.
" Ojin, kenapa kau tak menikah? Kau hampir 40 loh. Apa mau ngikutin pameo. Life begin at fourty?"
" Haha, yes Ojin menikahlah. Enak loh."
Dua sahabatku itu betul, usia terus merangkak, tak sadar hampir memasuki gerbang 40. Mereka hafal karena setiap ulang tahun tiba kami selalu bertukar ucapan. Mereka, Lilian dan Emma, sahabat dekat ketika aku bermukim di Belanda 5 tahun yang lalu. Sudah menikah, aku kenal dengan suami keduanya, yang bekerja di kementerian pariwisata pula.Â
Mereka datang ke Osaka ini bersama suami mereka, tapi kali ini tidak diajak menemuiku, karena harus menghadiri meeting dengan orang penting lain di kota ini. Makanya Emma dan Lilian dibebaskan untuk menikmati jalan- jalan berdua saja, dan aku mereka pilih untuk menemani.Â
Cipika cipiki mengakhiri pertemuanku dengan Emma dan Lilian, kembali ke apartemen dalam keadaan terhuyung. Tetiba ada yang menyesakkan dada. Mulanya batuk biasa, lalu menjadi makin sering. Sungguh tak nyaman. Satu gelas air putih kuhabiskan. Masih terbatuk. Ouh, dadaku panas. Mataku berkunang-kunang. Kurasakan kepalaku pening, demam.Â
Ann, kuhubungi Ann, di Indonesia sudah pukul 10 pagi kuperkirakan, pasti dia tak keberatan. Langsung kutelpon.
" Assalamualaikum." Aku, menyapa demikian, karena kutahu dengan kata itu dia pasti menjawab.