Chat itu baru berhenti kukirim sesudah dia memberikan jawaban. "Â Maafkan, gawaiku semalam drop, langsung kucas dan baru kubuka sekarang."
Kulihat lagi waktu di Indonesia, pukul 7.30, waktu dia akan mulai bekerja. Kuyakin hari ini dia pasti akan sibuk sangat. 17 Agustus, banyak upacara, banyak kegiatan mengiringinya, meliput peristiwa adalah keniscayaan. Tak berani aku mengganggunya, cukup emo senyum saja lalu dia membalas emo pula. Itu sudah membuatku lega.
Akupun sibuk berkegiatan Agustusan. Sebagai warga negara Indonesia rasanya kurang afdhol kalau aku tidak ikut terlibat. Maka bergegas aku ke KBRI, naik kereta api, dari Osaka menuju Kansen. Lumayan makan waktu lama sih, sekitar satu setengah jam. Tapi tak apa, demi suasana Indonesia aku rela.
Betul dugaanku, kemeriahan ala Indonesia tergambar nyata. Selain upacara tentu saja, ada rangkaian lomba seru yang mengingatkanku dengan kampung halaman. Lomba makan kerupuk, tarik tambang, Gigit sendok dengan kelereng, diadakan panitia di sana. Pesertanya orang Indonesia juga yang tinggal di Jepang.
" Hai Ojin !" Sebuah teriakan memanggil namaku mengagetkan.
"Â Hai ! Kamu Saka?"Â
" Iya, aku teman kau waktu kita sama sama ikut kelas menulis Kanji di Hiroshima dahulu."
Saka, temanku, 3 tahun yang lalu kami akrab, sebelum akhirnya sebuah sertifikat tanda lulus mengakhiri kedekatan. Dia melanjutkan studi S2nya, sedangkan aku kembali bertualang di dunia pariwisata.Â
Satu pekerjaan yang melupakan aku dari keinginan mempunyai pendamping. Kerja lembur, jalan-jalan, pesta, telah menjadi semacam rutinitas tak terelakkan.Â
Sebuah tangan mungil diulurkan padaku," Hai paman Ojin."
" Oh hai, siapa namamu?" Kujawab ceria bercampur kaget, sambil mengubah posisi, menjadi jongkok, mengikuti ketinggian bocah lelaki di hadapanku.