Pejuang Al Quran, itu yang dikatakan mendiang belahan nyawa saya dalam satu obrolan ketika menggambarkan sosok perempuan mulia ini. Agenda harian yang menyita mayoritas waktu kehidupannya untuk mengajarkan ilmu Al Quran, membuat suami saya menjulukinya begitu.
Pagi, usai Subuh kira-kira pukul 6, perempuan bernama lengkap Rubaita ini mengawali rutinitas mengajarnya. Di Madrasah Ibtidaiyah Mabruk Quran Desa Ngroto. Mestinya jadwal pelajaran dimulai tepat pukul 7 pagi, namun semangat mengajar mengaji anak didik di sana membuat langkahnya mengharuskan datang lebih awal dari jam itu.
Pukul 6.15 dia targetkan sudah sampai lokasi sekolah. Mengajar siswa Madrasah Ibtidaiyah mengaji dahulu sebelum masuk kelas. Siswa yang dibaginya secara berkelompok di mushola, diajarinya mereka satu per satu. Begitu terus setiap hari. Tanpa henti, hanya libur resmi, Jumat atau libur hari besar seperti lebaran yang membuat jeda pengajaran ini.
Begitupun usai mengajar dia tak langsung pulang, ada kegiatan mengajar lagi di lokasi sekolahnya. Kali ini untuk Madrasah Diniyah yang bernama Tahfidzul Quran. Dengan materi mengaji Al Quran, hafalan, dan kitab- kitab klasik yang umum diajarkan di pondok pesantren hingga pukul 4 sore, baru dia berkemas pulang.
Menempuh perjalanan sekitar 15 menit. Sesampainya di rumah telah menunggu santrinya yang lain lagi. Anak tetangga, mereka mengaji di rumah Bu Ita juga hingga lepas Isya.
Kesempatan yang disebut banyak orang sebagai me-time, seolah tak berlaku bagi sosok ini. Hanya tidur, istirahat malam, layaknya orang kebanyakan, itu yang dia miliki.
Dahulu, sering saya dan mendiang suami, sebagai teman kerjanya di Madrasah Ibtidaiyah membincangkan kegigihannya memperjuangkan Al Quran. Padahal hidupnya jauh dari kata berlebihan, mestinya bila mau, dia bisa melakukan pekerjaan lain untuk mencukupi kehidupannya. Namun kecintaan pada Al Quran membuatnya mensyukuri yang dia miliki, bahagia meski tak bergelimang harta.
Suami saya adalah teman mengajar Bu Ita di Madrasah Ibtidaiyah itu, termasuk salah seorang yang menerima kehadiran suami saya sebagai tenaga pengajar di sana. Dengan satu catatan, niat berjuang karena tak ada gaji dengan nominal layak yang bisa diberikan.
Mengajar merupakan niat saya biar suami saya mengamalkan ilmunya setelah bangkrut dari usahanya dan sebagai sedekah ilmu untuk memancing rezeki agar mengalir lagi ke rumah kami.
Sampai suatu ketika ada anak tetangga datang ke rumah saya, minta diajari mengaji. Saya nekat mengiyakan, padahal kesibukan saya cukup menyita waktu. Namun, berkaca pada kebiasaan Bu Ita mengatur waktu. Jadilah sejak hari itu saya menjadi guru mengaji pula, sore hari, di rumah saya.
Sebuah pekerjaan yang saya ingin hanya Allah yang membayarnya. Seperti yang Bu Ita lakukan. Agar hidup memperoleh keberkahan. "Seng penting barokah. Yang penting berkah," itu kata Bu Ita.