Telah selesai pembahasan tentang materi puisi untuk buku kami. Sekumpulan orang-orang yang menahbiskan diri sebagai pemuisi Kompasiana secara di tempat itu puisi puisi kami ditampilkan, menjadi tempat nyaman meluahkan rasa, asa dan pikiran dalam kata kata.
Ini waktunya refreshing setelah beberapa masa mengusahakan feel untuk bisa berbalas. Kadang terengah bila tema yang dimunculkan pengumpan berat pun. Rifan, Brian, Syahrul, duh mereka para lelaki yang puisinya susah dikunyah. Untunglah ada Pak Ping, Adelia yang siap turun tangan. Menyelesaikan kesulitan menemukan diksi yang pas.Â
Akhirnya, semalam kami bercengkrama dalam kata. Indah nian ternyata, coba tengok, ada bait umpan dari mbak Aliz, sang Swarna Hati
Seuntai senyum terkembang
Dalam alun irama rasa yang paling dalam
Sejerat hati yang selalu bersenandung tanpa berkesudahan
Dilanjutkan Pak Ping, Ropingi
Katanya, "Sudahi saja, jangan bilang cinta jika tak ada rasanya."
Saya datang pun dengan
 Belenggu rasa itu torehkan lara tak berkesudahan
Gayutan amarah ini meluap-luap tiap pekan
Hambar menimpa meski bulan purnama
Ranting dahan patah berserakan
Bu  Retno Andri melanjutkan: Seuntai doa mengembang di sudut bibir yang membiru
Senyampang masih bisa bergetar mengucap  Asma Allah...
Hingga menggetarkan kalbu
Sebut lirih hampir tiada terdengar " Ya Rabb, berikan yang terbaik dalam akhir hidupku.
Tak ketinggalan ikhlas, Julak Anum, lelaki belah kanan saya ikut urun,Â
 Purnama pun ikut menggalau
Dalam igauan masa lampa
Murung ia mengurung resah
Di pelataran hati yang telanjur basah
Ronanya sembab, muram dalam gelap
Sebab terlalu mendekap harap
Yang seharusnya telah tiarap