Gigil dingin malam tadi menumbuhkan ingin dekap dalam hangat. Untuk usap kenang yang pernah terucap, hangat itu mulai menjalari pori-pori. Tak hendak dikebiri.
Sang Pungguk tak pernah berhenti. Ia tetap mengumpulkan kertas bekas. Puisi-puisi indah tentang kasih sayang. Ia kenang ketika Bulan masih memendarkan cahayanya.Sekarang ia sebatang kara.
Berteman angin, menunggui kabut malam nan makin pekat. Sembunyi dari sinar bulan yang makin lama makin menyilaukan. Diksi yang terkumpul digenggam saja, tak berani ditunjukkan dalam terang.
Maka dia tetap jadi pungguk untuk hasrat yang digantungkan di awang. Mencintai dalam diam, merindui bersama sunyi. Karena dia yakin tanda cintanya akan sampai pula. Meski jarak memisahkan, sambil menggumamkan wirid pinta." Duhai angin bawa aku memeluk rembulan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H