Bila berpuasa diartikan menahan lapar dan puasa sejak terbit fajar hingga senjang menjelang maka berbuka puasa, itu adalah kemenangan. Bila kehilangan salah satu penopang hadirkan kesunyian dan penderitaan  maka diberi pelukan, direngkuh hangat kebersamaan, itulah sumber kekuatan. Kemenangan dalam arti lain. Berhasil mengalahkan rasa sepi, memunculkan semangat mandiri dalam gandeng tangan. Berkat kepedulian.
Itulah pemandangan yang saya dapatkan kemarin, Senin, 27 Mei 2019 di Masjid Raden Patah Universitas Brawijaya Malang. Sebanyak 2700 anak yatim dari wilayah Malang Raya dan sekitarnya diundang, diberi santunan, diajak berbuka bersama, berdoa bersama, shalat bersama. Menumbuhkan semangat, dalam kebersamaan ada kekuatan, sebagai muara dari keberanian, dari kepercayaan diri arungi samudera kehidupan.
Menatap mereka memunculkan keharuan yang nyata, meski tak lengkap orang tua binar ceria, rona cerah terpancar dari wajah mereka. Memunculkan lagi kenangan saya kepada yang tlah berpulang. Sebagai perempuan dari dua lelaki peninggalan, sebagai anak yang baru saja kehilangan bapak. Saya tahu betul betapa kedukaan masih turut menyertai rasa kehilangan.
Tak mampu menjawab, hanya pelukan dengan isakan. Sambil membisikkan di ubun-ubun kepala, "Bapakmu sedang menuju gerbang surga, untuk membukakan pintunya kelak bagi kita bila menyusulnya."
Lalu hidup tanpa bapak baginya dilalui sepanjang waktu, dengan pelukan ibu dan orang-orang dekat yang menguatkan. Bagi yang ditinggal sejak balita, sang ibu sering membawanya bekerja. Tak ada pilihan, kalau ada larangan membawa anak ketika bekerja, sang ibu akan memilih keluar, ganti haluan, bekerja yang tak ada larangan sambil mengasuh anak.
Berjalan dengan satu kaki menumbuhkan kesulitan untuk adaptasi, tapi ketika semua bisa terlewati, mandiri menjadi karakter yang tiba tiba dimiliki. Untuk  yatim yang masih usia sekolah, kesulitan pembiayaan makin bertambah. Kepedulian, satu hal yang sangat disyukuri ketika ada yang memberikan. Itu yang saya rasakan. Maka doa doa mengalir ikhlas dari kami, ibu yatim dan sang yatim untuk sang pemberi.
Acara yang saya ikuti kali ini sungguh menyesakkan dada, dahulu, setahun yang lalu, bapak dan ibu saya yang mengantar mereka, kurang dari 100 yatim yang dikoordinir i kedua orang tua saya. Dari 6 panti asuhan, ikut bergabung dengan yatim lain di Masjid Raden Patah ini. Namun iddah untuk ibu saya karena kepergian bapak 5 hari sebelum puasa tiba membuat beliau menunjuk saya menggantikan perannya. Dengan niat birul walidain, taat orang tua saya mengikuti. Ternyata dahsyat acara terpampang nyata di hadapan saya.
Dahulu, ketika belahan nyawa masih ada, ketika bapak masih bisa saya tempati kepala, kebiasaan memberi santunan, menyalurkan sumbangan kerap kami lakukan, sungguh tak pernah terpikirkan, bahwa kelak saya juga akan menjadi bagian dari penerima itu. Tak ingin sebetulnya, mau saya tangan ini di atas saja. Namun takdir berkehendak, sesuatu yang tak mau harus saya alami. Hikmahnya, empati makin tumbuh di dada ini, pada mereka yang merasakan kehilangan.
2700 Yatim yang mengikuti acara tertib, saat ada pembicara, saat berbuka, saat shalat bersama. Tak ada kegaduhan, semua sabar dalam antrian. Sesuatu yang mengharukan, mengingat mereka hanya mempunyai orang tua tunggal, pendidikan dilakukan pihak panti asuhan. Berebut itu memalukan, kami terbiasa sabar. Maka bila belum tiba giliran tak akan kami melakukan tindakan penyerobotan.
Buka puasa hari ini saya saksikan adanya wajah-wajah yang meraih  kemenangan meski Idul Fitri belum tiba. Kedukaan karena tiada salah satu tonggak rumah tangga bisa ditepis dengan raihan kasih sayang. Saudara yang peduli, teman yang kerap berbagi, donatur yang siap memberi. Maka kekurangan yang mereka rasakan sedikit demi sedikit tak lagi dirasakan. Kehadiran kepedulian memunculkan rasa hangat, bahwa hidup ini masih bisa dilalui. Tak lagi merasa sunyi sendiri. Kebersamaan ini mampu menumbuhkan percaya diri, untuk menjalani kehidupan lebih baik lagi.