Kelelahan mendera. Namun mereka antusias menyelesaikan proses penghitungan suara, hari itu juga. Setiap masalah disepakati untuk diselesaikan langsung, misalnya bila ada terselip satu suara saja. Mereka rela menghitung ulang sampai ketemu, sampai semua sinkron, sesuai dengan yang harusnya dilaporkan.
Seperti yang saya baca beritanya kemarin, Tribunnews menulis di daerah kota Serang dipastikan dilakukan pemilihan suara ulang (PSU) di Kecamatan Cipocok Jaya dan Kecamatan Serang. Rekomendasi telah diberikan pihak KPU setempat.
Komisioner Bawaslu Kota Serang Rudi Hartono mengatakan, TPS yang diulang ada di TPS 5 Cipojok Jaya dilakukan karena ada 3 pemilih dari DKI Jakarta yang tak memenuhi syarat. Petugas TPS meloloskan 3 pemilih ini untuk mencoblos surat suara calon presiden hanya bermodalkan KTP elektronik.
"Ada unsur kelalaian. 3 orang pemilih DKI dibolehkan memilih. 2 orang sudah masukan surat suara ke kotak, sementara 1 belum," kata Rudi saat rilis di kantor Bawaslu, Kota Serang, Banten, Kamis (18/4/2019).
Contoh kasus di atas dalam pikiran saya sebagai orang awam tak terlalu berat, hanya 3 orang dari sekian ratus pemilih. Namun imbasnya mengenai seluruh proses pemilihan. Oleh KPU kecamatan direkomendasikan untuk diadakan PSU, Pemilihan Suara Ulang. Maka TPS tempat menyelenggarakan pemilu harus bersedia menggelar kembali PSU.
Bagi panitia, ini artinya harus berlelah melakukan pendataan ulang, memanggil lagi calon pemilih ke TPS, menggelar pemungutan suara seperti semula beserta seluruh perangkatnya. Waw, betapa ribetnya. Itu yang saya bayangkan ketika mereka memberikan alasan mengapa mereka rela begadang, rela tak pulang. Yakni keberatan mengulang, jangan sampai  ada PSU, Pemilihan Suara Ulang. Itu sungguh satu hal yang tak diinginkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI