Menjaga bapak yang sedang rawat inap di Rumah  Sakit  selama hampir dua bulan akibat penyakit lambung akut yang diderita memberikan banyak pelajaran pada saya. Antara lain yakni menangani bapak yang sering merasa kesakitan.
Menjalani colonoscopy 2 kali, selanjutnya endoscopy 1 kali, dengan masa pembiusan total hanya selang beberapa hari. Membuat bapak saya lemas. Sering pusing. Badan kaku. Belum lagi sakit di dinding lambungnya yang menyiratkan nyeri luar biasa. Saya kasihan melihat kondisinya. Bisa ikut merasakan, karena saya pernah melahirkan, asumsi saya seperti itulah perkiraan sakitnya, serupa ketika akan melahirkan.
Tak ingin berlama melihat bapak saya kesakitan, apapun permintaan bapak saya iyakan, termasuk menghubungi perawat untuk meminta suntikan pereda nyeri. Â " Sebentar ya bu. Saya hubungi dokter dahulu."
Ah, bagi saya jawaban itu memperlama penderitaan bapak . Menghitung menit perawat menghubungi dokter itu serasa setahun. Saya bel lagi tanda butuh perawat. Akhirnya dia datang dengan sebotol kecil cairan anti nyeri, Tramadol. Diletakkan menggantung sebagaimana infus.
Beberapa saat kemudian obat itu mulai bereaksi, sakit bapak mulai reda, kelelahan karena sakitnya, membuat beliau tertidur pulas. Menetes air mata saya menyaksikan bapak. Dulu beliau adalah sosok perkasa, satu telunjuknya mempunyai kuasa. Tatapan matanya mengundang wibawa, kini, tanpa daya beliau terbaring lemah, dalam sakit yang bertambah.
Obat anti nyeri seolah menjadi peneman bapak, padahal itu bukan tanpa resiko. Dr. Siva yang menangani sakit bapak menjelaskan panjang lebar bila obat anti nyeri terus menerus diberikan. Terhadap lambung, pun terhadap organ tubuh yang lain. Bapak saya dengan seksama menyimak, menekuri riwayat pengobatan dahulu.
Pada dokter cantik berdarah timur tengah itu, bapak berkisah, dahulu jarinya pernah sakit, oleh dokter saraf diberi obat anti nyeri dan pelapis lambung. Karena merasa tak ada masalah dengan lambungnya, bapak meminum obat anti nyeri saja. Ternyata efeknya lambung bapak tidak kuat. Jadilah sakit dibdaerah lambung diderita bapak.
Ketika sakit bapak saya ingin meminta lagi obat itu. Namun dokter Siva dengan sabar dan ramah berusaha memberi pengertian, tidak langsung memberikan namun dijeda hingga sesuai tenggang dan dosis dibutuhkan. Diajaknya bapak ngobrol tentang masa lalu, perawat yang mendampingi diminta mencatat apa saja yang dikeluhkan bapak, serta tindakan apa yang dibutuhkan bapak, bukan hanya obat namun juga termasuk fisioterapi untuk melatih otot perut bapak yang mulai gosong, akibat botol air panas yang terus menerus. Serta penanganan lain yang mampu membuat bapak lebih nyaman.
Di luar dugaan, Â Dokter Siva bersedia memberikan nomor WA, untuk dihubungi bila sewaktu-waktu bapak ingin mengeluh atau konsultasi. " Untuk Pak Komandan, sehari saya sediakan waktu bukan 24 jam tapi 25 jam." Begitu dokter Siva mengatakan pada bapak.
Luar biasa, perhatian dokter cantik itu begitu sangat berpengaruh pada bapak. Semangat sembuhnya tumbuh, bila mulai kesakitan saya diminta chat  WA dokter Siva, advis beliau saya sampaikan, sedikit menenangkan. Ternyata keramahan besar pengaruhnya untuk mengurangi kesakitan.
Padanya saya banyak belajar. Mengiringkan senyum ketika melayani seluruh permintaan bapak, menjawab ramah setiap keluhan yang disampaikan. Usapan kasih sayang, mampu memberikan efek tenang. Merasa diperhatikan. Untuk orang yang sakit dalam pandangan saya. Tak ada yang lebih dibutuhkan selain perhatian. Sapa ramah dokter menjadi sugesti menyejukkan yang mampu redakan kesakitan, disamping tentu obat obatan. Bukankah demikian? Salam sehat, salam berbagi keramahan.