Sore, Jum at kemarin adalah hari kesekian saya menunggui bapak saya di rumah sakit. Hampir 2 bulan saya Pulang Pergi dari dan Ke Rumah Sakit yang juraknya sekitar 40 Kilo meter dari rumah saya tinggal. Membelah hutan, melewati kelokan jurang. Pagi berangkat mengajar dari Rumah Sakit, sore hari kemabali usai mengajar.
Tak terasa tlah lebih satu bulan itu saya lakukan. Mestinya bila tak ada sesuatu, saya enggan melakukan tentu. Dingin kabut pagi menggigilkan badan dan pori-pori. Menuju Tempat kediaman saya yang suhunya lebih dingin dari kota Malang, tempat ayah saya dirawat dan menginap.
Siang, usai mengajar, saya kembali, kali ini berpacu dengan kendaraan besar, bis, truck sampai saya hafal badannya. Menuju kota Malang, yang tingkat kemacetannya menyerupai Jakarta. Kota yang saya tonton di televisi tak pernah tidur sedetik pun.
Baru kemarin saya tersadar, tlah cukup lama ini menjadi kebiasaan. Teman saya Badar dari harian Jawa Pos yang menemui saya untuk kesekian kali di Rumah sakit seolah mengingatkan.
" Sampean di mana? Aku mau ketemu, lanjutan wawancara." Begitu dia berkata menannyakan  posisi saya jumat siang lepas jumatan.
" Di Rumah Sakit." Singkat kubalas tanyanya.
" Masih di Rumah Sakit Yang Sama mbak?"
Tersadar saya, seminggu yang lalu saya bertemu dia di tempat ayah saya di rawat. Kini janjian lagi dengan pemandangan yang sama.
"Iya, masih, datanglah, sambil menemaniku menunggu ayahku."
Jari saya menghitung, lama juga saya di Rumah Sakit. Makin menghitam warna kulit saya, Â diterpa mentari tiap hari, tirus rupa mengiringi tubuh saya yang makin kurus. Saya bercermin, aha, Â perlahan berubah penampilan saya. Tapi saya tegak berdiri, sehat, Alhamdulillah. Ini lebih baik dibandingkan bapak saya yang kurang bisa berdiri. Bersyukur diberi sehat, meski sedih dengan kondisi bapak.
Pada satu pertanyaan saya seolah disadarkan. " Bagaimana bisa saya melakukan ini setiap hari?"