Semburat jingga nampak nun di ufuk. Kudapati sipu merah di ronamu. Layar kita tak bisa lagi sembunyikan gurat bahagia. Getar ini, desir ini, bukan karena ditingkah bayu laut nan menyemilir. Tapi potret raut hati yang tak lagi malu memadu rindu.
Di atas pasir kita menjejakkan aksara. Amukan cinta menggulungkan gelora. Tak perlu izin dipinta, untuk satu rahasia yang kau simpan rapat lebih satu abad. Katakanlah duhai pesona tampan, bermahkota legam belah kanan. Gerangan apakah yang terlipat lama dibawah kebekuan?
Sipu itu makin terlihat, cahaya kemerahan menyemai halus wajahmu, hasrat ini terayu membelai serambut anakan yang tumbuh di teduh wajahmu. Sejuk. Menjalari relung terlembut dingin ini, berdesir, hangat. Untuk penasaran ini, kuingin dapati pasti,
" Apakah rahasia yang kau simpan?"
Ulas senyum, getar bibir, detak jantung, bergulung. Menggema dalam teriakan tanpa penghalang, lantang, lepas, ditelan kabut fajar, dibawa ombak pulang.
Katamu, "Aku cintakan kau!"
Sungguh kuyakin itu, tapi dengan pengucapan, serasa diri ini lupa ada di daratan. Kucecap nikmat pengakuan. Lidah ini kelu, terpaku, pada pasir kuukir namamu. Pejam, pada ombak kubisikkan rasa hatiku. "Akupun begitu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H