laku masa lalu tlah buatku malu, ingin berlari sembunyi di sebalik batu, pergi dari potongan peristiwa dengan himpunan sesal yang tak mampu kutahan
pernah tajam kata-kata ini keluar dari mulutku, pernah menghunjam makian kulesatkan dari busur panah bibirku, mengingat itu, tergugu, sungguh kutak tahu malu.
Bertahun ibu mengajari jaga mulut, jaga hati, disekolahkan kami hingga tinggi, tak patut ada umpatan keluar dari ucapan ini, emosi, menunjukkan betapa bodoh diri ini.
demi apa kutak tahu sesungguhnya, untuk kemenangan semu, itu yang kurasakan menyerang, merongrong hati dan bibir ini enggan terkatup, menutup otak ini tak lagi bisa menggunakan daya pikir, gelar juara kuperebutkan tanpa bangga menguasainya, bahkan derita kusaksikan pada dia yang kucinta.
pada bulan malam kusampaikan salam, saudaraku ayolah pulang, hangatkan aku dalam pelukan, kita basuh kaki ibu bersama, kita cium tangan ibu lebih lama, kuyakin bahagia akan dia dapatkan, meski linangan haru mengalir tak berkesudahan.
air mata itu menyiratkan dua penanda, pertama,  rasa sesal karna tak mampu memisah kita saat saling teriak, kedua, rasa bahagia karena rukun kita buat ibu adalah segalanya, untuk dua makna air mata  itu , kupilih yang terakhir saja, biar air mata ibu mengalir tapi karena rasa bahagia menyelimuti dada.
bila bila masa itu tiba, kan kuulurkan lebih dahulu salam ini untukmu, tak apa aku kalah, aku menyerah, demi hati ibu merekah, agar jalin lagi cinta retak ini, padamu, pada kita, pada ibu. Bila cinta sudah bicara, adakah lagi kata yang bisa mengalahkannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H