Gelombang cinta, gemuruh kasih, bergulung sayang, menuntunku membelah kabut dingin pagi demi bertemu  senyum sapa, tawa ceria bunga bangsa, harapan negara, generasi pengganti bila kelak aku atau kalian mati.
Cintaku bersambut salim, ciuman tangan, hangat pelukan, berkaca-kaca mata ini mengharu biru saat mereka mengatakan "Maafkan salah kami selama ini ya bu."Â
Tak terbayang lagi goda nakal mereka, Â tak ada lagi panggilan khusus ke ruang konselor, akibat keusilan pada teman atau ketidaksopanan mulut dan budi pada guru. Mereka semua muridku. Senen seolah hari pertama bertemu, padahal hanya jeda Minggu, kami terbelenggu rindu ingin bertemu.
Lebur dalam sebuah persemaian kasih sayang. Tanpa batas cantik dan tampan, tanpa sekat sosial kaya atau  miskin, yang ada hanya hubungan orang tua dan anak berwujud guru dan murid.Â
Mengajar ilmu dan tuntunan kehidupan agar mereka siap mengarungi hidup ini menatap ke depan. Menjadi manusia berguna itu idealismenya. Untuk dirinya, untuk keluarganya, untuk bangsanya, untuk kemaslahatan dirinya, sebagai sangu, bekal kelak menempuh kehidupan akhirat.
Kuberikan kasih murniku pada mereka semua tanpa pilih kasih. Yang katanya pandai kuapresiasi, yang dicap bodoh kudampingi, yang divonis nakal kuperhatikan. Tak ada beda, Â semua sama, mereka adalah investasiku di dunia.Â
Kutanam kebaikan tak berharap imbalan, biarlah malaikat saja yang mencatat. Tak perlu berkoar menyebutkan satu persatu yang telah kulakukan bila mereka tuai keberhasilan, harapku hanya bertemu mereka kelak di kehidupan kedua, saat surga menjadi rumah terakhirku sesudah aku tak bernyawa.
Takdirku mengajar mereka yang miskin papa, yang tak lengkap orang tua, yang berharap sekolah tanpa biaya, kuterima. Kuusahakan memenuhi kebutuhan sekolahnya, lewat uluran tangan sesiapa, Â agar selembar ijazah didapatkan mereka bila keluar, berharap ada guna manfaat untuk melanjutkan masa dapan. Kalaupun ijazah itu tak terpakai biarlah do'aku yang akan selalu terlantun untuk kebaikan mereka, semoga hidup mereka baik baik saja.
Di sekolah ada saja goda teman guru padaku. Â Mereka menanyakan kabar anak-anak istimewaku, sebutan untuk mereka yang nakal, yang bodoh, yang tak pantas naik atau lulus.Â
Aku ngotot menjadi advokat. Pengacara, pembela buat mereka, entah yang kubela mengerti atau tidak, aku tetap keukuh mempertahankan. Menantang kebijakan, mengambil resiko dipinggirkan asal anak anakku dinaikkan, diluluskan.Â
Ngotot memang aku meminta diberi waktu dan kesempatan sebelum eksekusi dijatuhkan. Kupanggil pribadi, kudatangi rumah, bertemu orang tua, seringku malah menangis mendapati masalah mereka,