Jika tersebut namamu, selalu membulirkan linangan menyayat kalbu. Berat napas tetap kutahan. Bukan karena cinta, hati berdebar, pilu, sesakkan dada. Namun, kotak suci besar himpit punggungmu, kapan lepas diganti pemanggul lainnya.Â
Suatu ketika, jalan kotor sudah kami sapu bersama. Agar kau melenggang suka-suka. Taburan bunga mawar jingga harusnya membuat pejalan kaki lewat jadi terkesima. Tidak! Kau malah mengejek dan menggali lubang menganga. Salahku apa?
Kalimat basi jadi alasan terucap di sini. Janji tak mungkin diingkari. Lalu, terjadi adalah aku harus berjibaku dengan waktu. Bersama pemangsa lapar siap menunggu waktu. Menerkam habis tubuh kurusku dengan kulit mulai membiru.
Ketika kusebut namamu. Selalu ada rindu. Bukan untuk hadirkan sayang berlebihan. Bukan untuk kuras habis seluruh perhatian. Malang! Hanya secuil angan kudapatkan. Kau ingkar. Tak datang.
Orang-orang berkumpul hanya minta secarik kertas bertuliskan namanya: ajari kami bicara dengan bunyi dan dengan sandi yang kau bisa.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H