Kereta Api perjalanan dari Malang ke Yogyakarta menyisakan satu cerita. Kawan seperjalananku, yang tak lain adalah pembaca setia tulisanku  tiba-tiba sore itu menghubungi via chat WA. Aku suka memanggilnya adek.
" Kakak Apa Kabar? Makin cantik aja nih."
" Hai adek. Alhamdulillah sehat, kau apa kabarnya? Hehe iya kakakmu ini makin cantik kalau dilihat dari lubang jarum."
Pembicaraan awal itu menjadi simpul kehangatan kemudian.
Hari itu aku memang memasang status dengan fotoku yang sedang jalan-jalan ke kota Malang. Mempersiapkan workshop menulis untuk kawan-kawan komunitas menulis buku Komalku Raya. Aura ceria terpancar dari wajahku. Pun kawan yang menemani survey lokasi, dan mengurus perizinan. Kebahagian inilah yang mungkin menyebabkan wajahku terlihat cantik di status yang kupasang tadi.
Tak kusia siakan perjumpaan dengan teman lamaku yang juga terlibat sebagai panitia workshop. Ada yang pernah satu sekolah denganku, pula satu kampus saat kuliah dulu. Berasa muda, reuni tipis tipis akhirnya. Kantin sekolah menjadi sasaran meluapkan rindu kenangan. Cerita masa lalu di sekolah, mengenang kembali bangku dan guru guru menjadi topik hangat yang selalu kuingat.
Tak kalah dengan para siswa, kami selfie berfoto ria, berbagai gaya. Pamer senyum terindah, mempertontonkan kesan sumringah. Hasilnya wow, Â gambar menunjukkan kami terlihat 20 tahun lebih muda. Tanpa efek kamera, mungkin karena pancaran hati bahagia serta gestur badan yang menunjang itu semua. Makan-makan di kantin tanpa mengenakan baju seragam formal untuk mengajar membuat kami merasa ceria.
 Mas Musyafa'  dan Mas Muji yang ditunjuk kepala sekolah menemaniku masih kulihat ketampanannya meski ada beberapa helai warna putih menghiasi kepala, cahaya sorga katanya. Pantaslah keduanya telah menjadi pak yai di MTsN Malang 1 Jalan Bandung ini.
Mbak Eni Farida, sang dosen Sastra dan Bahasa Indonesia di STIMIK PRADNYA PARAMITHA kota Malang yang pagi itu menemaniku tak banyak perbedaan dari wajah yang kukenal puluhan tahun lalu saat dia dekat dengan Inung, temanku teater yang sekarang telah menjadi profesor di perguruan tinggi negeri ternama di ibukota propinsi Jawa timur, Surabaya. Wajah cantik dengan senyum menawan selalu disunggingkan, yang membedakan hanya volume pipi dan berat badan. Makin berisi, seksi, simbol kemakmuran. Hehe.
Menatap mereka aku sungguh suka. Meski usia memakan badan, jiwa dan semangat tak surut langkah. Aku jadi tertular. Sepanjang pertemuan kusunggingkan senyum terindah, kuhadirkan tawa ramah. Kata temanku, " Kamu tetap seperti dulu, hanya penampilan yang membedakan, dulu kita muhrim kan? " Tukas Mas Muji mengingatkan.
Aku tergelak, mengingat jaman sekolah PGA, Pendidikan Guru Agama --setingkat SLTA--dahulu. Ya, temanku laki laki merasa aku sama jenis dengan mereka. Saat itu aku garang, selalu memakai celana di balik rok panjang. Kalau tak ada guru rok itu kuangkat tinggi. Celanaku abu abu sama dengan seragam, jadi tak terlihat meski kukenakan di balik rok span sempit yang wajib kupakai itu.
Aku tomboy waktu itu. Susah jalan gemulai, pasti terdengar suara robek pada jahitan rok yang kukenakan. Makanya kusiasati dengan mengenakan celana panjang. Hingga lulus sekolah aman kupakai seragam model begitu. Hanya ketika praktik mengajar, terpaksa aku memakai rok panjang, untung, model lebar diperbolehkan, tapi tetap kusiasati dengan celana panjang di dalamnya. Kuangkat tinggi bila usai mengajar. Ribet jalan mengenakan rok, kesrimpet, pernah hampir jatuh, malah jadi bahan tertawaan. Duh, diingatkan waktu itu. Malu sekali diriku.