Aktifitas menulisku di Kompasiana kuutarakan juga, mereka tertarik, Â langsung saja kupandu membuat akun, saat itu pula kuminta pada yang sudah loggin untuk ikut menulis di Kompasiana. Seru, itu yang kurasakan. Untuk hal ini aku bersedia menjadi follower pertama.
Bagiku, sayang sekali jika kemampuan mereka membaca buku hanya dituangkan dalam bentuk cerita sharing belaka. Alangkah lebih indah dan bermanfaat bila buku yang telah mereka baca di ulas, dijadikan esai, opini, kolom, resensi atau apa sajalah bentuknya yang bisa menampung apresiasi mereka terhadap sebuah buku. Seringkali ide dan gagasan muncul setelah selesai membaca buku. Jadi kalau bisa dituliskan pula, mengapa tidak?
Menulis di Kompasiana bagiku seperti mengasah pisau, kepekaan terhadap aktivitas literasi bisa didapatkan di sini. Untuk menjadi penulis handal, komunitas Cerita Buku Booklicious ini telah punya modal. Suka membaca buku. Dari membaca kita bisa mempelajari ranah penulisan. Tinggal menuangkan saja gagasan yang kita punya. Dan Kompasiana bagiku adalah sarana yang tepat sebagai wadahnya.
Bila kemudian buku menjadi targetku berikutnya, ini tak lepas dari pandanganku bahwa buku adalah jembatan indah kita terhubung dengan berbagai pintu generasi. Buku adalah produk yang takkan tergerus zaman. Meski ada E book, ada perpustakaan online, ada media online yang siap menyajikan berbagai menu bacaan. Buku tetap mempunyai ruang untuk penikmatnya.
Daya sentuhanya luar biasa, buku mempunyai magnet berdampingan dengan internet. Tak ada resiko hang atau hilang jaringan ketika akan membaca sebuah buku. Produk tiga dimensi ini  bisa kupegang setiap hari. Terus terang, tertidur dengan buku di pelukan lebih nyaman daripada dengan gawai hidup di tangan, bukankah telah ada beberapa kasus resiko penggunaan gawai yang berlebihan? Hingga menuai celaka bagi pemiliknya.
***
Dalam hal ini saya sependapat dengan Maestro Sapardi Djoko Damono yang dilansir Suara Com dan ditulis oleh Pebriansyah Ariefana : Senin, 24 Oktober 2016 silam.
Saat ada tanggapan seperti berikut: "Tapi minat baca buku jadi kurang. Sebab orang lebih suka menghabiskan waktu dengan ponsel pintarnya."
Sapardi dengan gaya khasnya menyergah, "Gundul mu! Di toko buku, berapa ratus buku tiap bulan terbit? Kalau tidak ada yang baca, ngapain dijual sebanyak itu. Mengapa begitu banyak penerbit di Indonesia? Bahkan toko buku tiap bulan menerbitkan 50 judul buku. Siapa yang mau baca itu? Berapa penjualan buku."
"Cek saja Gramedia, ada berapa ratus judul yang keluar tiap pekan? Ini tidak pernah ada dalam sejarah sastra di Indonesia sebelumnya. Nah kalau nyatanya begitu, yang baca buku itu siapa? Memang setan?"
"Buku-buku yang terbit makin laku saat diunggah di media sosial. Mereka yang melihat akan beli karena mendapat tanggapan positif."