Adalah cinta pada pencipta yang sedemikian saratnya saya temukan dalam nuansa buku puisi karya perdana Ropingi di awal tahun 2019 ini. Bait-bait penyadaran sebagai hamba, sebagai manusia memekik dari sanubari terdalam.
Keinginan menebus kesalahan sebelum ajal menjemput melolong dari kesunyian jiwa, pada Tuhan segala pinta dipersembahkan. Rasa yang tak lelah membuncah melenyapkan keconcangkakan sebagai manusia. Untuk-Nya segala pertaubatan dipersembahkan, menyesali kesalahan adalah satu pesan dari beberapa bait puisi yang saya pahami.
Maka hanya pada pencipta segala pinta di tujukan, puisi berjudul Maka  Mintalah membuktikan betapa manusia seringkali terlalu congkak mengakui betapa dia abai pada kelemahan, terlalu percaya diri pada kemampuan, dan merintih perih dalam keluhan, padahal Tuhan ada untuk manusia. Dia suka bila manusia meminta.
Cinta Tuhan dihadirkan oleh Ropingi dengan bahasa yang kadang lugas, menohok jantung kealpaan manusia. Bahwa sesungguhnya kita hidup atas karunia-Nya, bahwa kita berada dalam jamahan cinta-Nya dalam setiap tarikan napas kehidupan dunia.
Polah manusia yang kadang lupa dengan sisi lemahnya, pamer dengan yang dilakukan, lupa kepada siapa harusnya memberikan perhatian, membuat Ropingi  menyajikan sisi parodi manusia dalam bentuk puisi. Indah dalam balutan irama berbeda-beda.Â
Kadang syahdu menyentuh  seperti sajian puisi Cermin Air Tak Pernah Dusta atau Keringat Malam, kadang pun menggemaskan seperti puisi bertajuk Sudah Sudah . Ada pula bernada riang tapi menorehkan hunjaman palu gada menyesakkan dada, seperti puisi berjudul Nanana Cuma Bebe Nana.Â
Semua puisinya pernah tayang di Kompasiana. Silakan buka kembali torehannya, atau baca saja kumpulan puisi dalam bukunya, maka saya yakin nuansa indah akan menggayuti rasa siapa saja yang membacanya.
Kumpulan puisi  Ropingi sungguh sarat makna, menelaah dan membacanya mampu mendesirkan keinginan pertaubatan sebagai manusia. Ya, manusia yang kerap enggan beranjak dari kubangan dosa. Manusia yang lupa bahwa bila pun saatnya tiba, mata ini akan tertutup tanah kuburan. Maka saat ajal menjemput, adakah yang bisa dilakukan manusia? Tak ada.Â
"Mati banyak dosa menyesal tiada guna". Seperti itulah tangkapan mata batin saya ketika menelaah buku Kompasianer sejati ini. Buku ini akan mengolah rasa kita untuk bertaubat sebelum ajal menjemput. Setidaknya begitulah yang saya rasakan.Â
Untuk Anda saya sarankan persiapkan rasa keindahan sebelum  membuka lembar pertama. Bukalah buku ini, nikmati bait demi baitnya, maka akan anda temukan desir sejuk yang mempesona sebagai manusia. Salam damai jiwa.Â
Ngroto, 1 Januari 2019