" Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya." (Gus Dur)
Tak ada yang yang tak kenal dengan Gus Dur waktu itu, terutama saat beliau hidup. Sosoknya mempunyai magnet bagi media, baik cetak maupun elektronik, semua tertarik memberitakan apa saja yang keluar dari mulut seorang Gus Dur, serta pemikiran yang dituliskannya.Â
Sebelum menjadi presiden, saat menjabat sebagai orang nomor satu negeri ini, maupun ketika dilengserkan manusia-manusia yang mengaku paling benar, serta saat beliau menjadi rakyat kembali, berbaur, membumi dengan kami. Gus Dur tetap fenomenal.Â
Dia hadir sebagai kontroversi tak lazim yang menyejukkan kalangan pembela kemanusiaan dan dia juga menjadi sosok yang menuai hujatan karena rangkulannya kepada seluruh umat manusia tanpa memandang muasalnya.
Konsep "lakum dinukum waliyadin, bagimu agamamu, bagiku agamaku", telah diterapkannya di kehidupan dunia ini dengan harmoni yang indah. Cintanya pada manusia tidak memberikan sedikitpun ruang permusuhan pada yang berbeda keyakinan. Dia diterima seluruh kalangan, bahkan umat yang berbeda iman menjadikannya sebagai panutan.
Iman adalah tentang hati, yang pemiliknya adalah pencipta-Nya. Mengumbar kebencian pada sesama manusia dengan alasan berbeda iman adalah satu hal yang sungguh memiriskan saya. Karena hanya Dia yang maha membolak-balikkan hati. Lalu kenapa manusia merasa paling benar dengan hatinya?
Gus Dur memberikan contoh betapa indahnya bergandengan tangan dalam perbedaan, ini mengagumkan. Saat kebencian bertebaran mengatas namakan pembelaan terhadap keimanan dia hadir sebagai tokoh welas asih, menebar cinta pada semua manusia, bahkan yang berbeda iman sekalipun.
Ini tentu tak lepas dari latar belakang pendidikannya. Dia adalah putra dari KH. Wahid Hasyim sekaligus cucu dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari ini lahir di Jombang, 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman "Addakhil" dan terkenal sebagai Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur.