Riuh rendah tepukan masih membahana saat pesta kutinggalkan. Pemandu masih terus lantang meneriakkan nama-nama  sang juara, satu persatu. Sedari tadi aku menunggu tak kudengar panggilan menyebut namaku.
Padahal, di  kertas ujian kutuliskan namaku besar-besar, agar mata bisa awas karenanya, agar tak salah eja, agar mudah mereka menyebutkannya.
Percaya diri, kujawab sendiri butir demi butir soal yang tersaji. Di ruang ujian terjadi  kegaduhan meski begitu tak sekalipun pengawas memanggilku.
" Ssst, jangan ramai! ini ujian!" Pak Ping yang saat itu jadi pengawas ujian mengisyaratkan dengan telunjuk  menempel di kedua bibirnya yang mengatup, mendiamkan
" Bijee, jangan tolah toleh ya?" Lanjutnya.
" Gigip, kerjakan sendiri!"
" Halipah, lihat ke depan jangan noleh ke Gigip saja."
Nama- nama  peserta ujian dipanggil Pak Ping seolah mengabsen presensi, dan namaku senyap, karena aku  sibuk dengan diriku, dengan kertas didepanku. Kupikir aku harus jujur, secara pesan Pak Ping begitu.
Hari-hari ujianku berlalu. Kutunggu hasilnya dengan degup kencang di dada, seperti apa nilainya. Panggung yang disediakan menjadi akhir cerita, bahwa namaku ternyata tak pernah dipanggil menjadi juara. Jempol satu saja tak berhak kuterima. Mereka, nama-nama temanku yang gaduh dan sering dipanggil karena ribut saat pelaksanaan ujian kemarin malah dapat jempol dua.
Aku tergugu, seperti inikah rasanya sembilu? Bertarung dengan kejujuran, Percaya dengan janji palsu.