[caption id="attachment_314887" align="aligncenter" width="702" caption="Ilustrasi/Admin (Bola Kompas.com)"][/caption]
Di balik hiruk-pikuk Piala Dunia ini ada seorang lelaki usia 92 tahun menyambut kehadiran dunia di kampung halamannya.
Senin, 13 Juli 2010. Setelah seharian mempresentasikan dan mendiskusikan Indonesia Mengajar, sebuah program pengiriman sarjana terbaik untuk menjadi guru SD selama satu tahun di desa terpencil, sore itu saya duduk di kereta api menuju Stasiun Tugu di Yogyakarta, untuk kemudian ke Magelang. Kereta baru saja berangkat dari Stasiun Gubeng, Surabaya. Dari jendela diunjukkan deretan pemandangan yang jamak. Kereta api, di mana saja sama: menyisir sisi suram sebuah kota. Di kampung-kampung miskin itu, samping rel kereta, terlihat kibaran bendera-bendera peserta World Cup. Di tanah-tanah kosong di samping rel kereta, anak-anak berkumpul main sepak bola. Suasana Piala Dunia masih hidup di mana-mana. Ya, awal pekan lalu World Cup memang baru saja purna. Di balik hiruk-pikuk Piala Dunia ini ada seorang lelaki usia 92 tahun menyambut kehadiran dunia di kampung halamannya. Rambutnya sudah putih, jalan agak tertatih tapi senyum tetap lebar dan pancaran semangat itu belum sirna. Lambaian tangannya saat mengitari lapangan disambut gemuruh dua ratusan ribu hadirin dan disaksikan 700 juta penonton di seluruh dunia. Sebuah kado luar biasa untuk dia. Saya jadi ingat peristiwa historis yang terjadi saat saya masih kuliah pada tahun pertama. Era baru Afrika Pada awal Februari 1990, majalah Newsweek edisi minggu itu datang dengan cover yang aneh. Gambar ilustratif, bukan foto. Lukisan wajah seorang lelaki Afrika, usia senja, berambut ikal pendek, kulit legam, sedikit menyungging senyum. Saya tidak kenal wajah itu. Gambar yang janggal untuk sebuah sampul depan majalah yang pembacanya sedunia. Wajah ilustratif di sampul Newsweek itu ternyata adalah hasil rekonstruksi. Mereka mencoba menggambarkan wajah seorang pemberontak yang sudah mendekam selama 27 tahun, sebagian adalah kurungan solo (solitary containment).
Selama 27 tahun ini dunia luar tidak pernah melihat wajah, gambar atau foto si pemberontak itu.
Berdasarkan cerita berbagai kalangan yang pernah menjenguk, dicoba digambarlah wajah itu. Minggu depan sang pemberontak akan dibebaskan dari kurungan. Sulit membayangkan, berada di penjara di sebuah pulau mungil, Robben Island, sejak 1963 sampai 1990. Tak sempat melihat Perang Dingin, tak sempat lihat manusia menapak Bulan, tak tahu ada mesin faksimile, dan tak melihat dunia berubah pesat. Nelson Mandela, manusia berkulit gelap dikurung sendirian dalam gulita. Diganjar penjara karena melawan kebodohan. Minggu itu dunia menanti bebasnya Mandela. Saya pun ikut menanti dibebaskannya Mandela. Saya pun ingin lihat wajah pejuang luar biasa ini. Bagaimana wajah Mandela hari ini? Begitu datang harinya, 11 Februari 1990, dunia seakan bergetar. Berita TV, radio, koran, majalah, dan semacamnya semua mengabarkan keluarnya seorang lelaki dari penjara dengan kekuatan yang luar biasa:
- Sosok yang bergelora tapi lembut
- Wajahnya tangguh tapi bersahabat
- Kata-katanya tegas tapi pemaaf.
- Tidak ada amarah, kebengisan, apalagi kebencian.
Dia melangkah keluar dengan keanggunan, kehormatan, dan keteguhan lelaki Afrika. Mengingatkan kita pada cerita Bilal. Hari itu wajah Mandela bukan wajah tua dan lemah, wajahnya adalah wajah hadirnya era baru.
Hari itu Mandela jadi simbol berakhirnya era gelap di Afrika, di mana manusia berkulit putih dipastikan bermasa depan cerah, sementara manusia berkulit legam diharuskan bermasa depan gelap.
Mandela hadir membawa misi rekonsiliasi. Menarik garis dengan masa lalu. Kini rekonsiliasi ala Afrika Selatan sering dijadikan contoh. Dunia pun belajar kemuliaan dari orang-orang berkulit legam. Dua dekade kemudian, dunia hadir di Afrika Selatan. Pesta olahraga terbesar sejagat dihadirkan di hadapan Mandela. Selama satu bulan ini Mandela dan seluruh pejuang Afrika Selatan menerima penghormatan dunia. Jika bukan karena Mandela, negara itu sudah mandi darah balas dendam. Kesabaran dan keteguhan untuk mengutamakan perdamaian dijaga dengan konsisten. Hari ini semua itu terbayar. Tentu tidak terbayangkan oleh Mandela bahwa 27 tahun siksaan lahir dan batin itu akan menjadikannya simbol keteguhan yang suatu saat dihadiahi pesta terbesar umat manusia.
Spanyol bisa saja pulang membawa trofi juara dunia, tapi sebenarnya pemenangnya ialah Nelson Mandela, pemenangnya adalah konsistensi melawan ketidakadilan.
Samina-mina e e waka-waka e e.../Samina-mina sangkalewa /Anawa a a .... Samina-mina e e waka-waka e e.../Samina-mina sangkalewa . . This time for Africa.... *** Selesai berbicara di ITS, berangkat menuju SMA Taruna Nusantara di Magelang. Dalam perjalanan Kereta Api dari Surabaya ke Yogyakarta bulan Juni/Juli 2010 itulah tulisan tentang Nelson Mandela ini dibuat. Tulisan ini dimuat dalam Harian Kompas, 19 Juli 2010. Beberapa hari yang lalu, Nelson Mandela berpulang, teriring doa untuk kepergian beliau. Tulisan ini juga dimuat di dalam website pribadi saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H