Tulisan ini dipublikasikan di Seri Buku Tempo: Bapak Bangsa -- Agus Salim, Diplomat Jenaka Penopang Republik
Haji Agus Salim diminta menjadi pemimpin Redaksi Hindia Baroe. Koran Ini dimiliki beberapa orang Belanda yang "berpikiran maju". Salim menerima dengan satu syarat: diberi kebebasan dalam mengelola. Saat itu, pada 1925, ia salah seorang pemimpin sarekat Islam. Sebelumnya, Salim memimpin koran Neratja, yang dikenal keras terhadap rezim kolonial Belanda.
Syarat tersebut diterima. Namun, seiring dengan waktu, para pemilik gerah juga dengan arus pemberitaan Hindia Baroe yang kerap mengkritik pemerintah Belanda dengan keras. mereka meminta Salim melunak. Tak perlu berlama-lama, keesokan harinya, ia langsung mengajukan pengunduran diri. Mohammad Roem, salah seorang yang menganggap Agus Salim sebagai mentor politik, bertanya, "Mengapa reaksinya begitu kontan? Mengapa tidak berusaha mencari waktu agar tidak tergesa-gesa pindah rumah, karena pendapatan sekonyong-konyong berhenti dan tidak dapat membayar sewa rumah lagi?"
Salim menjawab panjang-lebar. Intinya ada di ujung, "Kalau saya terus menulis, hanya ada dua kemungkinan: saya tidak mempedulikan permintaan pemilik harian atau saya menyerah dan berkompromi dengan hati nurani saya," ujar Salim (Mohammad Roem, 1977). Pria kelahiran Kota Gadang, 8 Oktober 1884, itu memilih yang pertama.
Roem menyebut soal rumah lantaran, selama di Jakarta, Salim tinggal di satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Ia menjalani "pola nomaden" ini bersama istri dan tujuh anaknya. Ia, misalnya, pernah tinggal di sebuah rumah di kawasan yang kini dikenal sebagai Jatinegara, Jakart Timur. "... keluarga Agus Salim hanya menempati satu ruangan. Koper bertumpuk-tumpuk di pinggir dan beberapa kasur digulung," kenang Roem, yang kelak menjadi Menteri Luar Negeri.
Kemiskinan tak membuat Agus Salim menggadaikan integritas. Saat Mengelola Hindia Baroe, ia tak menjadikan harian itu sebagai corong Sarekat Islam. Pemberitaan tentang partai hanya muncul sejauh berkaitan dengan kepentingan umum. Tulisan-tulisan rekan separtai akan dimuat jika bermutu. Perkawanan bukan faktor. Tak urung ia menjadi sasaran kritik koleganya di Sarekat Islam.
Ada satu contoh keteladan Agus Salim yang lain. Suatu ketika ia ditawari menjadi Ketua Umum Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Dalam surat tertanggal 26 Maret 1950 kepada Zein Arief, ia menolak tawaran tersebut. Tanpa menafikan signifikansi partai politik dalam demokrasi, Salim cemas terhadap kehidupan berpartai yang salah arah dan terlampau gaduh pada saat itu. Kabinet gonta-ganti.
Belum genap lima tahun merdeka, ada satu kementrian yang sudah ganti menteri sampai enam kali. Sialnya, dalam bahasa Agus Salim, para menteri diangkat "... tidak dengan memandang pelajaran, kecakapan, dan pengalaman yang lalu". Kita Ingat, PSSI bukan partai gurem. Pada Pemilihan Umum tahun 1955, partai ini meraih delapan kursi-- ada di peringkat kelima. Agus Salim menolak tawaran itu. Wangi kekuasaan tak membuatnya bertekuk lutut.
Jika mengingat kisah itu hari ini, hanya ironi yang tiba-tiba meninju kepala kita. Sekarang banyak politikus hanya memiliki kemampuan finansial dan keberanian narsistik untuk muncul di spanduk atau baliho-- beberapa di antaranya dengan selera artistik yang begitu memprihatinkan. Integritas hanya selesai di bibir dan di poster, tak mengejawantah dalam laku politik.
Hampir tiap hari menyeruak berita-berita para politikus, baik dari jajaran eksekutif maupun legislatif, yang menjadi tersangka kasus korupsi. Maka, meski reformasi telah bergulir selama 15 tahun, peringkat indeks persepsi korupsi Indonesia tak banyak berubah. Komisi Pemberantasan Korupsi telah bekerja keras, tapi para pencuri uang rakyat masih jauh dari tumpas.
Terlalu banyak tokoh politik yang lebih mengejar kosmetik ketimbang menjadi otentik. Kita butuh politikus dan pemimpin otentik: memiliki visi dan segenap kemampuannya bakal dikerahkan demi mengejar pencapaian visi tersebut. Mereka memiliki determinasi, bukan sosok yang ciut nyali menghadapi kontroversi. Inilah elemen kenegarawanan. Para negarawan berpikir soal generasi mendatang, sementara nonnegarawan hanya berkutan soal pemenangan pemilu.