Ketidaksetaraan sudah menjadi stigma kita sebagai mahkluk hidup untuk bisa bertahan hidup. Banyak sekali faktor pembentuk ketidaksetaraan ini. Seperti pengalaman pribadi, dimana dan bagaimana kita dilahirkan, apa dan siapa yang pernah menyakiti kita, dan apa yang diajarkan, dan masih banyak lagi. Semua kompilasi dari pengalaman ini, menyebabkan otak kita memiliki "defense menchanism" tertentu untuk bisa menghadapi hal-hal tersebut dikemudian hari. Kita hanya berkumpul dengan kelompok tertentu saja, menghindari beberapa orang yang menurut kita berbahaya, dan masih banyak lagi yang membuat kita menjadi mengeksklusifkan diri yang berbuah kepada ketidaksetaraan.
Hal-hal diatas menciptakan timbulnya sebuah organisasi, sebuah negara, kerajaan, adanya kasta dan hierarki. Dan menurutku hampir mustahil menciptakan society yang setara jika yang berada di dalam society tersebut adalah manusia. Kecuali jika kita semua sudah tergantikan oleh robot.
Stigma yang melekat kepada seorang individu bisa saja bersifat plural, dan bisa beradaptasi sesuai dengan kebutuhan kita di suatu kondisi tertentu. Misalkan kita sedang berada di tempat ibadah agama kristen. Maka secara tidak sadar, kita sudah terlekatkan oleh stigma bahwa "aku adalah bagian dari agama kristen". Ketika kumpul-kumpul berada di keluarga yang memiliki multi religion, kita tidak akan mengidentifikasi diri kita sebagai agama kristen tulen, karena tahu hal tersebut akan membuat masalah, jadi kita memakai banyak topeng dan akan berlaku seolah-olah kita adalah bagian dari mereka.
Ketika kita berani ke luar negeri yang notabene kiblat manusia pada hakekatnya adalah menghindari pergi ke tempat yang asing, Tapi memberanikan diri dengan menghipnotis diri untuk mengidentifikasikan kalau "Disana masih sama-sama orang asia kok, ga masalah aku kesana", atau "Kita masih sama-sama manusia, jadi pasti aku akan aman-aman saja berada di negara mereja". Dengan menggali-gali informasi lebih dahulu tentunya. Atau masih berkaitan dengan contoh keluar negeri diatas, Misalkan kita mengikuti sebuah tour berangkat dalam kelompok kecil maupun besar, kita akan merasa lebih aman karena memiliki teman bepergian yang "Setara". Menciptakan barrier antara "Kelompok kita" dan "Kelompok mereka".
Refleksi Diri
"Aku melabeli diriku kalau aku adalah manusia, Laki-laki, hetero, memiliki build badan yang tidak terlalu atletis, memiliki ras chinese indonesia, beragama kristen, hidup di kalangan pekerja lepas, Hidup di lokasi yang bisa dibilang A+, Hidup dengan kondisi ekonomi biasa-biasa saja"
"Aku adalah supporter klub Bola MU. Disaat aku menonton olahraganya, aku sudah pasti akan menjadi bagian dari MU, mau siapapun musuhnya. Di sisi lain aku adalah orang Indonesia, memiliki jagoan klub lokal, misalkan persija. Aku akan mengganti identitas dari pendukung MU menjadi pendukung persija (berganti golongan). Ketika persija bertanding, aku tetap akan mendukung persija mau siapapun lawannya. Tetapi jika lingkupnya sudah naik ke pertandingan Indonesia Vs Malaysia, aku mengganti identitas, dari supporter Persija ke supporter Indonesia, meskipun yang duduk disebelahkan misalkan pendukung persib dan pendukung chelsea"
"Aku adalah pecinta musik Indie, dan genre yang aku suka adalah Japanese Rock, maka aku akan menganggap orang yang mencintai musik pop bukan merupakan bagian dari diriku. Aku akan merasa nyaman berkumpul dengan para wibu dan pecinta musik japanese rock lainnya. Ketika ada kelompok lain yang mencela selera musik ku, aku bisa saja bersifat defensive dengan membela diri kalau setiap orang memiliki selera musik masing-masing, bisa saja berdiam diri saja, suapay tidak terjadi perdebatan atau bisa saja aku bersifat offensive mengganggap bahwa selera mereka terlalu mainstream dan ga asyik"
Dan masih banyak lagi jika kita identifikasi satu per satu. Hal itu menyebabkan dalam kondisi tertentu, aku akan berkelompok, entah berkelompok dengan para pekerja lepas lainnya, berkelompok dengan orang-orang yang tidak memiliki badan atletis, berkelompok dengan ras / agama yang sama, berkelompok dengan sesama fans, Dll. Dengan aku mengidentifikasi diriku "sama dengan mereka", menciptakan kedekatan ku dengan orang lain dan rasa aman karena aku tidak sendirian.
"We and Them"
Hal tersebut sudah pasti akan menciptakan terbentuknya stigma : "WE AND THEM" atau kita dan mereka. Hal ini tidak bisa dihindari, mau seberapapun tolerannya kita kepada golongan lainnya. Kita hanya bisa membentengi pikiran kita sendiri. Hanya moral, etika, hukum, dan keterbukaan pikiran saja yang menghalangi kita untuk tidak mencela orang lain dan tetap memanusiakan manusia dan tidak bertengkar dengan mereka.