Mohon tunggu...
Ania Salsabila
Ania Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Just trying something new.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dari Bayangan ke Pentas, Melestarikan Wayang di Tengah Modernitas

22 Oktober 2024   15:42 Diperbarui: 22 Oktober 2024   17:20 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wayang, sebuah warisan budaya yang tak lekang oleh waktu, memiliki akar yang dalam dalam tradisi Jawa, termasuk di wilayah Banyumas dan Cilacap. Wayang berasal dari kata "ayang-ayang," yang berarti bayangan, sesuai dengan konsep pertunjukan di mana para penonton melihat bayangan wayang kulit di layar. 

Sebagai bagian dari seni pertunjukan yang berkembang selama berabad-abad, wayang tidak hanya menghadirkan hiburan, tetapi juga menyisipkan pesan moral, filosofis, dan religius. 

Cerita-cerita dalam wayang, yang berpusat pada epos Mahabharata dan Ramayana, seringkali dijadikan media untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan, ajaran agama, serta nasihat sosial dan politik. 

Wayang Banyumasan, yang berkembang di wilayah Jawa Tengah bagian barat, dikenal dengan karakteristiknya yang unik, baik dalam aliran Kidul Gunung maupun Lor Gunung, yang masing-masing memiliki gaya dan instrumen musik pengiring yang berbeda.

Dalam era modern yang dipenuhi tantangan globalisasi dan perkembangan teknologi, wayang tetap dipandang sebagai seni yang harus dijaga dan dilestarikan. Wayang bukan hanya sekedar tontonan, melainkan juga tuntunan bagi masyarakat yang mengajarkan nilai-nilai luhur melalui narasi yang disampaikan oleh dalang. Di Cilacap sendiri, wayang terus bertahan meskipun dihadapkan dengan tantangan perubahan zaman dan minat masyarakat yang beralih pada hiburan modern.

Perjalanan Seni Pak Tejo Sutrisno

Dalam rangka program kerja digitalisasi budaya, Kelompok 47 KKN UNS 2024 di wilayah Cilacap, melakukan wawancara dengan Pak Tejo Sutrisno, selaku seorang dalang sekaligus guru di SMK Muhammadiyah 1 Cilacap. Meskipun keseharian Pak Tejo dipenuhi dengan aktivitas mengajar, beliau selalu menyempatkan diri untuk melestarikan seni perwayangan. 

"Sejak kecil saya sudah suka wayang, diajak oleh bapak saya menonton pertunjukan wayang. Kecintaan itu terus tumbuh hingga akhirnya saya bisa menjadi dalang," ujar Pak Tejo mengenang awal mula perjalanannya di dunia seni ini.

Perjalanan Pak Tejo sebagai dalang tidaklah singkat. Sejak pertama kali mendalang pada tahun 2003, beliau telah menekuni profesi ini selama lebih dari dua dekade. Meskipun begitu, menjadi dalang bukanlah pekerjaan utama beliau. 

"Pesan bapak saya, jangan jadikan dalang sebagai profesi utama karena terlalu banyak waktu dan tenaga yang tersita. Saya akhirnya fokus mengajar, tetapi tetap mendalang sebagai bentuk pelestarian budaya," ungkapnya.

Pak Tejo pun berbagi pengalamannya tentang tantangan yang dihadapi seorang dalang. "Mendalang bukan hanya soal memainkan wayang, tetapi juga soal stamina dan konsentrasi. Dalam satu pertunjukan, dalang harus berbicara, menggerakkan wayang, serta mengiringi musik tradisional selama delapan jam lebih tanpa henti," jelas beliau. Beliau juga menambahkan bahwa dalang memerlukan persiapan fisik yang prima, mengingat beratnya tugas saat tampil di atas panggung.

Wayang Banyumasan: Sejarah dan Perkembangan di Cilacap

Wayang Banyumasan yang berkembang di wilayah Banyumas dan Cilacap, memiliki sejarah panjang. Aliran ini terbagi menjadi dua, yakni Lor Gunung dan Kidul Gunung, dengan gaya pertunjukan yang berbeda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun