[caption id="attachment_113404" align="aligncenter" width="509" caption="listverse.wordpress.com"][/caption]
Badai pulang berganti awan gelap. Iringanderas hujanmulai mengoyak kumpulan pasir yang menyatu di ponggahan batu. Percikan nakalnyamenyeka sisi-sisi kacajendela yang tertutupoleh lapisan debu.Harum khas aromatanahikut menelusupsumpalan pernafasan yang terasabuntu oleh hawa penatperkotaan. Lembaran demi lembaran dari setiap kalenderitu menghilang di bawah ranjang tidurnya.Di pojok kantong sampah yang sudah tak terbuang selang beberapa pekan.Kadang, juga bisa ditemukan di bawah bantalnya.
Lentera nion berwarna merah mulai nampak menghiasi setiap sudut di kedip celahmata memandang. Pojok-pojokdari setiap pusat perbelanjaan tak kalah riuh ditelan rutinitas beraltar merah hatibercampur emasberlambang kemeriahan. Menyala-nyala di antara silau lampu yang tak mau kalah menyambut hari perayaan. Seakan bius semangat sedang membara seperti api dengan aksen merah sebagai serba-serbi. Di Pasar apalagi, suasana tak kalah ramai dengan antrian yang lebih berjubel dari biasanya. Seperti dengungan suara serangga yang berebut madu pada kuncup-kuncup bunga yang sedang mekar.
Membeli.
Menawar.
Semua larut dalam persiapan sebuah pesta. Musim dingin yang membekukan aliran darah pun tak jadi penghalang untuk tetap bersuka ria, larut dalamtawa.
***
Kecuali rumah itu.A Ho, ia biasa dipanggil. Lelaki delapan puluh tahun yang terkesan gesit dan lincah. Sangat berbeda dengan sepantarannya. Ia masih sibuk menatapsambil membolak-balikkan lembaran demi lembaran darikalender yang terpasang di dinding ruang tamunya. Dari tahun yang bersio Macan sampai tahun yang bersio Kelinci. Ia masih sama. Hanya beberapa saja yang nampak berbeda dari rutinitas yang terlihat menjenuhkan itu. Tahun lalu ia terlihat tanpa kacamata. Namun tahun ini, kaca mata tebal dengan frame wajah simetrisnampak menempel di wajahnya. Terkesan aneh ketika mata sipitnya semakin terkesampingkanoleh benda yang masih baru di wajahnya. Tahun lalu ia masih senang berpesta, berkumpul bersama bermain mahjong dilengkapi arak putih.Namun tahun ini, untuk bernostalgia pun ia sudah tak mau. Dibiarkan lampu di ruang tamunya mati tanpa ganti. Dibiarkan kran air di kamar mandi bocor tanpa memperdulikan lagi kenyamanannya untuk menikmati sisa hidup. Wajah beringas yang terkesan sangar itu sudahsemakin meredup oleh penguasa dari segala penguasa.
Waktu tak mau diselingkuhi!
***
“Kenapa kau tidak nikahi saja wanita itu?”
“Bukankah dia wanita cantik yang kau idamkan?”
“Apalagi yang akan kau cari dalam hidup ini?”
“Usiamu sudah tidak muda lagi… Ingat itu! Kami tak selamanya bisa di sisimu?”
“Kau butuh generasi penerus, anakku!”
***
A Ho menutup kembali lembaran diarry di lembar 105 yang telah ia tuliskan sejak sepuluh tahun yang lalu. Ia menutupnya, memasukkan kembali ke dalam laci berwarna cokelat kombinasi mengkilap.
Ingatannya mengembara pada sebuah ambisi masa lampau. Ketika sekumpulan pertanyaan yang diajukan oleh Ibunya tidak sempat ia jawab. Kesibukkan akan tuntutan kepuasan terus memburunya. Dari pagi bersua pagi ia gunakan untuk bekerja. Bersaing dengan lakon kehidupan. Bersemangat memburu kepuasan. Bepesta dengan aneka aroma arak yang memabukkan. Bercinta dengan beberapa pasangan. Bersantai dengan beberapa anjing sebagai pelipur sepi. Walupun tidak ahli, sesekali ia sempatkan waktu dengan gaya Ga Hung, seni bela diri China.
Ia sesumbar ketika itu. Tak akan terikat dengan satu wanita manapun!Pun ia tak menyukai anak-anak. Kegelisahan akan berkurangnya pundi-pundi dolar yang ia miliki lebih besar daripada persiapan masa tuanya.
Sementara usia telah merampas jiwa yang menitipkan kepercayaan pada sang raga. Sepuluh tahun yang lalu, ketika Ibunya pergi menyusul Ayahnya menuju tempat keabadian. Tempat baru di mana sebuah awal kehidupan dengan dimensi yang berbeda di mulai lagi.
***
Tahun ini masih sama. Masih dalam balutan musim dingin. Ketika kepulan asap dari cerutunya sudah tak dapat menghangatkan kerongkongannya. Ketika tubuhnya sudah tak lagi gagah dengan balutan dari kelembutan belaian sutera. Ketika Imlek untuk ke sekian kalinya ia merasakan kesepian dan kesendirian. Ketika tulang pada tubuhnya sudah tak sanggup lagi untuk menopang keseimbangan. Ketika ubun-ubunnya sudah merasakan bosan mengambil pembantu ,untuk merawatnya, mengajaknya berbincang.
Ia Bosan!
Ia sakit.
Ia tanpa teman.
Tanpa kerabat. Ketika Imlek menyapa mereka dengan sebuah hasrat yang baru, tidak dengannya. Di Panti Jompo ia kini terbaring. Mulutnya sudah tak bisa lagi lincah mengunyah makanan. Bahkan rebusan matcho, kurma merah sebagai asupan tambah darahnya sudah sulit tertelan. Selang kecil berada di antara lubang hidungnya. Infus itu pun ikut bersarang di lengannya yang kering, berbalut kulit yang sudah terlihat lemir. Ia menangis.Pun perawat itu tak sanggup membuatnya tersenyum.
New Territories-Hong Kong, 090611 at 17:45
Penulis: Ani Ramadhanie-Fera Nuraini No.1
Ketika keprihatinan di kehidupan kelak menyusup hatiku, tentang mereka. Orang yang hidup satu atap denganku. Mereka bilang, dengan hartahidup itu bisa bahagia. Apapun dapat terbeli. Ternyata tidak adanya. Bermilyar pun jumlahnya, ia tidak akan dapat membeli kesehatan.
( Mengintip secuil fenomena kehidupan masyarakat di Hong Kong)
NB : Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini ----------->>>http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/06/10/inilah-perhelatan-malam-prosa-kolaborasi-di-kompasiana/">Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi Fiksi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H