Mohon tunggu...
Anhar Putra Iswanto
Anhar Putra Iswanto Mohon Tunggu... -

Menikmati Kopi dan Buku di Tepi Kota Malang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Parlemen (Bukan) Taman Kanak-kanak

8 November 2014   22:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:17 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Potret Parlemen saat ini seperti menarik ulur emosi masyarakat. Setelah 16 tahun menjalani reformasi, Parlemen gagal mentransformasikan lembaga politik itu menuju keadaban, dan budaya politik yang mapan.

Belum genap satu bulan mengucapkan sumpahnya, anggota DPR sudah dua kali berlaku memalukan. Pertama, gara-gara tidak digubris penjelasannya, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Hasrul Azwar menjungkirbalikkan meja (28/10). Karena ricuh, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Demokrat Agus Hermanto langsung menutup sidang paripurna (Kompas, 29/10/14).

Kedua, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) membentuk DPR tandingan setelah Koalisi Merah Putuh (KMP) menyapu bersih pimpinan alat kelengkapan dewan (29/10). Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKS Fahri Hamzah mengatakan itu kesalahan KIH sendiri karena tidak menyerahkan nama-nama utusannya (Kompas, 1/11). Sementara itu, Anggota Fraksi PDI-P Aria Bima mengatakan pembagian jatah untuk KIH tidak proporsional. Dari 63 kursi pimpinan alat kelengkapan DPR, KIH hanya mendapatkan lima kursi, padahal KIH memiliki 43,5 persen kursi di parlemen (Kompas, 1/11).

Berbagai kericuhan yang jauh dari etika dan moral politik itu menunjukan kegagalan DPR melakukan shift of paradigm dari rezim-rezim sebelumnya. Alih-alih membawa perubahan, mereka justru tampil lebih memalukan. Bukannya tampil membela kepentingan rakyat, mereka justru berkutat perebutan kekuasaan dan kepentingan koalisi.

Politisi“Neurotik”

Apa yang kita rasakan saat ini adalah kehidupan publik yang tak lagi memberikan kedamaian, kenyamanan, dan kebahagiaan, apalagi kesejahteraan dan kemakmuran. Para politisi memberikan tontonan yang tidak lagi menarik. Di sisi lain, kehidupan di sekolah justru penuh dengan para predator seksual, siaran TV tak lagi menjadi sarana edukatif, malah destruktif. Ruang publik juga di isi oleh para pereman yang lebih mengedepankan otot dari pada otak.

Barangkali inilah yang disebut budayawan Jakob Sumardjo sebagai “Neurotik”. Suatu kehidupan bangsa yang dilandapenyakit neurotik alias sakit jiwa. Sakit jiwa ini ditandai dengan kekaburan nilai dalam kehidupan masyarakat. Orang tidak dapat lagi membedakan mana etika mana dosa, mana baik mana buruk, mana pejabat mana penjahat, mana politisi mana penjilat. Dalam kehidupan model ini, masyarakat nyaris tak lagi punya harapan, kecuali ikut menjadi “sakit jiwa”.

Sebagai contoh, satu minggu terakhir ini, nama Muhammad Arsad menjadi terkenal di seantero Nusantara, lantaran ulahnya merekayasa foto “mesra” Joko Widodo dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Ia ditangkap polisi dan ditahan. Di layar kaca (TV One), Mursidah, ibu Arsad bersujud memohon ampun kepada Presiden Jokowi agar anaknya dibebaskan. Ibunya meronta karena Arsad yang sehari-hari penjual sate menjadi tulang punggung keluarga. Dalam waktu relatif singkat, Muhamad Arsad mendapat dukungan masyarakat media (netizen), mereka berdalih Arsad orang yang tidak berpendidikan tinggi, rakyat kecil, hanya pejual sate, namun ditikam oleh rezim kekuasaan Jokowi.

Di sisi lain, setelah Jokowi mengumumkan nama kabinetnya, muncul nama Susi Pudjiastuti, seorang pengusaha sukses, lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP), tapi terpilih menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Tak ayal, bu Susi menjadi santapan cacian, protes, dan hinaan, karena sekolah saja tidak beres koq malah jadi menteri.

Rupanya, dalam masyarakat modern, dimana perubahan begitu cepat, kita justru kehilangan nilai, dan parameter untuk mengukur mana baik dan mana yang buruk. Arsad yang melanggar etika publik menjadi idola baru karena berlawanan dengan rezim kekuasaan (baca: Jokowi). Sementara bu Susi justru menjadi cemohan: ada menteri tidak lulus SMA. Effendi Gozali, pakar komunikasi politik di sebuah stasiun TV mengatakan, penahanan Arsad adalah tindakan polisi yang berlebihan, karena dia tidak tahu apa-apa, hanya tamatan SMP. Pada saat bersamaan, tuh bu Susui, hanya lulus SMP justru menjadi menteri.

Ada adagium yang mesti kita ingat: “umur tidak pernah menentukan kedewasaan”. Sebab kedeawasaan adalah proses pembelajaran terhadap nilai-nilai kehidupan, dimana kita mengerti ada norma, dan aturan yang selalu mengikat. Kemampuan untuk mengukur, mentaati, nilai-nilai dan norma itulah yang menjadi kualitas kedewasaan seseorang. Begitu pula dengan pendidikan, tinggi rendahnya pendidikan tidak menentukan peradaban seseorang. Bagaimana kita menghargai dan menjalani kehidupan—itulah yang menjadi cikal bakal kedewasaan. Bukan umur atau pendidikan tinggi.

Moralitas Politik

Lama bergelut dalam politik, menjadi anggota parlemen sekian periode, memimpin partai politik, berpendidikan dalam bidang politik yang tinggi, belum tentu akan menumbuhkan moralitas politik yang baik. Moral adalah persoalan fundamental bagi setiap orang. Tidak dapat dipelajari dari sekolah formal, sebagaimana teori politik. Tetapi harus ditumbuhkembangkan melalui aktifitas keseharian, berlaku jujur, dan toleransi kepada sesama, dan seterusnya.

Karena itu, sejak kecil orang tua tidak pernah mengajarkan anaknya tentang moral secara langsung. Tetapi memberikan tanda (signifier) kepada norma-norma, mana yang boleh, dan mana yang tidak, mana yang baik, mana buruk. Saat dewasa, akhirnya kita tahu, bahwa mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan dan moralitas bukan perkara yang mudah, sebagaimana kita belajar 2x2=4.

Karena itu, realitas politik hampir selalu terpisah dengan perkara moral ini. Politik tidak pernah bicara tentang gagasan ideal. Tidak juga menyangkut kehidupan manusia, baik atau buruknya. Politik hanya perkara bagaimana kekuasaan diperoleh. Politik merumuskan cara dan sistem untuk mencapainya. Apakah kekuasaan akan digunakan untuk kebaikan bersama, diri sendiri, atau justru untuk menghancurkan kehidupan itu sendiri, politik tidak pernah mau tahu hal itu.

Karena itu, banyak pihak mengatakan politik itu tidak kotor, tetapi aktornya yang sering kali busuk mentalnya. Politik sendiri tidak kotor, pun tidak juga bersih. Ia hanya jalan bagi sebuah tujuan hidup manusia. Maka, kelangsungan hidup manusia sangat ditentukan oleh baik atau buruk moralitas aktor politik yang bertarung mencapai kekuasaan ini. Jika pertarungan dimenangi oleh mental penjahat, maka buruklah rupa politik. Jika pertarungan dimenangi para asketik, pendekar, dan baik moralnya, baik pula wajah politik.

Marilah melihat wajah parlemen kita saat ini. Hampir tidak terdapat kosa kata lain untuk menjelaskannya, kecuali sebagai tempat nafsu kekuasaan dilampiaskan. Tidak ada lain, kecuali perebutan kekuasaan. Dalam alam demokrasi modern, kompetisi adalah sebuah keniscayaan—keharusan. Tetapi menjadi persoalan apabila pertarungan politik di isi oleh para pemburu kekuasaan, para botoh politik, dan rente anggaaran.

Benarlah kata Aristoteles, “a little mistake at the begining, becomes a big mistake at the end”. Kericuhan politik di parlemen, akan berdampak terhadap kemasalahatan bangsa mendatang.

*Mahasiswa Magister Sosiologi Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Koordinator Rumah Pencerahan Malang

Dimuat Harian Suara NTB, 5 November 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun