Setelah menunggu lama, proses yang panjang dan berliku-liku, akhirnya Presiden Jokowi mengumumkan nama para menterinya (27/10/14).Rasa penasaran publik kini terobati. Jokowi memberi nama kabinetnya dengan “Kabinet Kerja”.
Pengumuman menteri itu tampak berbeda dari pemerintahan sebelumnya. Dengan memakai seragam putih, beberapa menteri berlari saat disebut namanya. Mereka hendak memberi makna pada semangat dan gairah kerja yang segar sebagaimana tanda yang sering dilekatkan pada Jokowi sendiri.
“Kabinet Kerja” adalah sebuah tanda. Tanda dimana Jokowi merepresentasi diri dan seluruh gagasan kerjanya. “Kabinet Kerja” akan menjadi wajah pemerintahan Jokowi. Karena itu, baik buruk pemerintahan Jokowi kedepan sangat ditentukan gairah dan kinerja Kabinet Kerja.
Karena itu, dapatlah dipahami mengapa Jokowi sangat hati-hati dalam menentukan dan memilih orang dalam mengisi kabinetnya. Langkahnya melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan PPATK dalam melakukan penyeleksian nama kandidat menteri patut diapresiasi sebagai terobosan baru dalam proses memilih pejabat publik.
Terobosan Baru
Belajar dari kegagalan pemerintah sebelumnya, Jokowi mencoba menerobos batas-batas elitisme pejabat publik. Jokowi hendak menyampaikan bahwa pejabat adalah pelayan rakyat yang tidak perlu membatasi diri pada sistem protokeler yang kaku dan elitis. Pejabat harusnya menyatu dengan rakyat. Elitisme pejabat seringkali membuat terhambatnya proses pelayanan publik kepada rakyat sendiri.
Dari 34 menteri yang terdiri dari 18 orang kalangan profesional dan 16 “profesional” partai. Ada beberapa terobosan penting yang dilakukan Jokowi. Pertama, Jokowi mampu melampui elitisme partai politik dalam spektrum pemilihan pemimpin nasional. Selama ini, para menteri selalu diisi oleh mereka yang menjadi ketua umum partai politik. Atau paling tidak memiliki jabatan sentral dalam tubuh partai. Meskipun masih tetap ada jatah partai politik pengusung dalam kabinetnya, setidaknya “revolusi” seleksi pejabat yang dilakukan Jokowi ini dapat membuat partai politik melakukan proses meritokrasi dalam memilih kadernya untuk menduduki jabatan publik.
Kedua, Jokowi ingin menunjukan bahwa politik adalah kegembriaan dan kebahagiaan bagi rakyat. Politik haruslah tampil menyatu dengan rakyat. Jokowi melampui batas-batas elitisme pemimpin yang selama ini mencolok dalam kepemimpinan nasional. Politik hanya menjadi arena pertarungan bagi para elit. Sementara rakyat ditempatkan sebagai subyek politik yang hidup hanya pada saat pemilu.
Seringkali politik tampil tak lebih dari pertarungan elit. Menyerupai teater panggung yang berisi transaski, kompromi, dan negoisasi para elit. Kerena itu, politik hanya menjadi urusan para elit partai politik. Dalam konteks ini, Jokowi berhasil membawa politik ke ruang publik yang lebih partisipatif. Inilah yang membuat pelantikan Jokowi menjadi sejarah baru dalam reformasi politik Indonesia. untuk pertamakalinya, pelantikan presiden dimeriahkan oleh puluhan band,penyanyi, artis, seniman, dan ribuan rakyat. Mereka menggelar konser bertajuk “Pesta Rakyat”. Budayawan Radhar Panca Dahana bahkan meneteskan air mata saat mengahadiri konser rakyat (Kompas, 26/10/14).
Semangat rakyat dalam ruang publik politik, termasuk partisipasi dalam mengahadiri ritual kenegaraan, nyaris hanya terdengar ketika awal pemerintahan Soekarno. Piadto Bung Karno mampu menghipnotis rakyat Indonesia dan setia mendengar isi dari setiap pidatonya. Bung Karno merupakan ikon politik bangsa yang memiliki daya tarik tinggi bagi rakyatnya. Satu kata saja yang keluar dari mulut Bung Karno, akan terus diingat sebagai diktum politik yang memberi pecutan motivasi dan gairah kebangsaan.
Ketika Orde Baru berkuasa (1966-1998), gairah dan semangat partisipasi politik terperosok direduksi menjadi urusan para elit dan kroni Orde Baru. Rakyat, dimaknai tidak lebih dari orang pinggiran, kulot, tidak cakap dalam urusan politik, sehinga tidak perlu dilibatkan dalam persoalan politik. Dapatlah dipahami, negara dan masa depannya sepenuhnya berada di kepala Soeharto sendiri. Apa yang dipikirkan Soeharto, itulah menjadi representasi negara.
Orde Baru memberikan trauma besar bagi kebebasan politik dan kebebasan sipil. Soeharto, mengakumulasi kekuatannya dengan melakukan kapitalisasi birokrasi melalui tiga elemen: Birokrasi, TNI, dan Golkar. Pada akhirnya, Orde Baru runtuh melalui gerakan massa pada 21 Mei 1998. Soeharto mundur, dan era baru mulai dibuka.
Sebagai antitesanya, lahirlah rezim reformasi 1998 yang diharapkan mampu membuka ruang bagi keterlibatan politik warga. Sampailah pada akhirnya digelar pemilu langsung pertama (2004) yang menjadi pintu masuk bagi keterlibatan warga secara langsung dalam proses politik. Rakyat tidak lagi dimaknai sebagai ruang kosong yang tidak memilki representasi. Arus politik yang semula menepikan peran rakyat, maka kini seluruh kegiatan politik tertuju secara langsung kepada rakyat. Tujuannya tak lain untuk mendapatkan dukungan partisipasi rakyat tinggi dalam pemilu.
Namun demikian, reformasi politik justru tidak menghilangkan kekuasaan politik yang bertumpu pada elit-elit kuasa partai politik. Rakyat hanya menjadi subyek politik pada saat pemilu. Sementara itu, ia akan kembali kehilangan representasinya, tergantikan oleh elit-elit politik tertentu. Karena itu, politik menjadi sangat membosankan, rakyat mengalami kejenuhan dan kemuakan atas berbagai persoalan politik. Sebagain orang juga apatis dengan berbagai persoalan negara, akibat dari tingkah laku para elit politik yang tidak cenderung memberi perubahan dan harapan.
Kabinet “Harapan”
Tantangan yang harus dihadapi oleh Kabinet Kerja adalah harus mampu menjawab harapan rakyat besar terhadap berbagai perubahan mendasar. Selain itu, para menetri anggota kabinet juga harus mampu mengiringi gaya kerja “blusukan” Jokowi yang mencoba tampil lebih sederhana, dan lebih dekat dengan rakyat. Jika publik mendapati salah satu dari menteri tampil kontraproduktif dengan gaya kepemimpinan Jokowi, maka akan melunturkan kepercayaan publik kepada kabinet yang dibangun Jokowi itu.
Sebagai presiden, Jokowi juga harus secara terus menerus memicu semangat dan gairah kerja para menteri sesuai dengan karakter kepemimpinannya. Inilah saatnya Jokowi membuktikan jargon merkyat, sederhana, bekerja cepat, sebagaimana yang dibangun saat kampanye lalu. Kegagalan Jokowi dalam membentuk gaya kerja menterinya ini akan merusak kepercayaan publik terhadap proses penyeleksian panjang Jokowi dalam memilih menterinya meskipun melibatkan KPK dan PPATK.
Meskipun ada beberapa nama yang tidak sesuai dengan harapan publik terkait dengan kapabilitasnya dalam memimpin kementerian. Berbagai kritik tentu saja muncul sebagai bagain penting dari politik demokrasi. Kompetisi politik sudah usai. Kini saatnya membangun bangsa bersama. Jokowi bukan hanya presiden bagi Koalisi Indonesia Hebat (KHI), dan lawan bagi Koalisi Merah Putih (KMP). Tetapi Jokowi adalah Presiden seluruh rakyat Indonesia yang menunggu kerja nyata Jokowi.
Apakah Jokowi ingin tercatat sebagai pemimpin besar, atau sekedar presiden yang serba kebetulan? Kita menunggu langkah kerja Kabinet Kerja!
*Mahasiswa Magister Sosiologi Politik Univeritas Muhammadiyah Malang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H