Pemilu legislatif 2014 sudah berlangsung. Menurut hasil quick count beberapa lembaga survei, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) muncul sebagai pemenang dengan perolehan suara sekitar 19,17 persen. PDIP akan memimpin kelansungan hidup bangsa ini lima tahun mendatang. Kemana bangsa ini akan dibawa?
Setelah lepas dari cengkraman otoritarianisme Orde Baru, Indonesia membuka kran demokrasi seluas-luasnya. Mengikuti Claude Lefort (1988), demokrasi meninggalkan kekuasaan dan bayangan organis yang diciptakan rezim otoriter, maka demokrasi akan beralih pada lokus kekuasaan ruang hampa. Demokrasi akan menjadi ruang kosong yang dipertarungkan oleh kelompok kekuatan politik untuk mengisinya dengan barang apapun yang mereka punya.
Sebagai manusia yang hidup dalam gerusan libralisme politik, maka kita percaya (setidak-tidaknya mengikuti) bahwa demokrasi menjadi pilihan politik bangsa untuk menentukan peradabannya. Bagaimana adab bangsa itu sangatlah ditentukan bagaimana demokrasi dikelola menjadi perilaku hidup dan moral individu-masyarakatnya. Oleh karena itu, konsekuensi logis dari kehidupan demokrasi adalah kebenaran (hukum) yang diproduksi dari sistem demokrasi haruslah menjunjung tinggi martabat manusia, etis, dan bermoral.
Karena demokrasi menentukan budaya politik dan peradaban manusia, maka sesungguhnya demokrasi adalah “bangunan” yang didirikan atas tongkak kebudayaan dan peradaban lokalitas bangsa. Setiap budaya akan melahirkan kebudayaan luhurnya sendiri. Sebutlah kebudayaan Mesir, Yunani, Babylonia, India hingga Jawa, dimana setiap budaya akan menjadi karaketer utama daripada terbentuknya tatanan demokrasi. Demokrasi yang “ber-budaya” akan membangun lokalitasnya dan berkembang dalam sejarah kebudayaannya sendiri.
Sayangnya, demokrasi yang telah kita anut ini adalah demokrasi impor. Demokrasi yang tidak memiliki kelekatan lokalitas dengan bangsa Indonesia. Kita terjebak pada acungan jempol internasional yang menyebut demokrasi kita terbaik di dunia. Dimata internasional, bangsa kita terlihat besar dan berprestasi, tapi dihadapn rakyatnya, negara ini tidak lebih dari boneka internasional.
Demokrasi 50+1
Mari kita lihat, bila demokrasi disebut sebagai kemenangan mayoritas (50+1) (the principle of majority rule), apakah keputusan-keputuan politik yang dibuat selalu equivalen dengan etika dan moralitas universal? Apakah moralitas itu dapat diklaim dalam keputusan mayoritas? Inilah yang saya sebut sebagai demokrasi 50+1.
Samuel P. Huntington dalam penelitiannya tentang transisi menuju demokratisasi 1974-1990 menyimpulkan bahwa definisi yang paling absah untuk menjelaskan makna demokrasi adalah dalam pengertiannya yang prosedural (Hendro Nurtjahjo, 2006: 64). Sementara itu Michael Walzer memberikan penjelasan bahwa yang memerintah dalam sistem demokrasi adalah orang yang secara de facto menenangkan persetujuan lebih besar (suara mayoritas rakyat). Dengan demikian maka yang berhak memimpin negara adalah yang mendapatkan suara mayoritas dari seluruh warga negara (50+1).
Konsep inilah yang membawa demokarsi pada prinsip one man on vote--yang selanjutnya menjadi demokrasi elektoral (baca: pemilu). Akhirnya demokrasi dilihat melalui prosentasi angka. Rakyat ditandai, dikuantifikasi, dan dikalkulasi dalam bentuk angka dan persen-persennya. Bahkan untuk mengukur kapabilitas kepemimpinan sesoarang diukur melalui hitung-hitungan angka yang matematis, hukumnya: semakin besar perolehan angkanya semakin besar peluang menangnya. Bukankah hanya pemilihan kontestasi musik, dan bakat di televisi saja (seperti Idol, miss univers) yang menggunakan popular vote—anda akan menang jika yang “me-ngevote” lebih besar. Sementara didunia pendidikan, bukankah yang rangking terbaik itu selalu diakumulasi dan dikalkulasi dari kemampuan dan kabalitas secara individu—jelas pula yang memilihnya sebagai juara adalah guru yang memiliki kredibilitas yang dipercaya.
Karena itulah Presiden Soekarno mengejek demokrasi 50+1 sebagai gagasan “demokrasi liberal”. Demokrasi 50+1 menurut Soekarno akan melindas dan memperdaya 49 suara lainnya. Indonesia memiliki konsep demokrasi “musyawarah-mufakat” yang termaktub dalam pikiran Pancasila, terutama yang terkandung dalam aline ke-empat.
Apakah demokrasi selalu dihitung dari jumlah mayoritas yang senang kepada keputusan tertentu? Bahwa kesenangan rakyat diharus dikur dari teriakan “setuju” dalam jumlah mayoritas?. Ternyata tidak selalu menjadi keputusan yang ditaati secara sukarela oleh warga negara. Hakekat demokrasi adalah ketaatan warga negara pada hukum-hukum yang dibentuk secara “demokratis” itu tanpa paksaan dan tekanan, dan dalam aturan tersebut seluruh kepentingan diakumulasi secara universal.
Yang hakikat dari demokrasi adalah kebebasan warga negara untuk menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat, yang tidak harus dihitung dalam bentuk jumlah angka mayoritas. Inilah yang disebut filsuf Jerman Jurgen Habermas dimana “kekuasaan politik” memperhatikan suara public sphere yang secara terus-menerus menjadi diskursus dalam kehidupan politik. Jika mayoritas adalah pemenang dalam sebuah pemilu, maka suara 49 persen tersebut tidak lantas menjadi kosong dan tidak diperhatikan.
Inilah yang membedakan demokrasi dengan rezim otoriter. Kita masih sadar bagiamana Soekarno dan Soeharto mekonstruksi demokrasi sekedar legitimiasi kekuasaan. Sekarno melibas Gerakan Manifsto Kebudayaan 1963 dan membredel koran yang tidak sesuai intruksi presiden. Sementara itu Soeharto selama 32 tahun melindas kebebasan civil dan kebebasan berserikat warga melalui legitimasi negara yang diskriminatif.
Kedua, demokrasi menjamin hukum menjadi panglima dalam kehidupan bernegara. Demokrasi menjamin bahwa seluruh hak-hak mendasar setiap individu dijaga, dan dipelihara oleh negara. Maka dengan legitimasinya, negara berhak dan berkewajiban untuk memberangus segala gejala yang merusak tatanan demokrasi itu sendiri. Misalnya tindakan kriminalitas, penodaan atas hak asasi manusia, dan tindakan-tindakan diskriminatif, negara harus menjadi panglima yang siap 24 jam untuk melindung hak-hak mendasar warga negaranya.
Persoalan Mendasar
Setelah 15 tahun reformasi dan empat kali melaksanakan pemilu demokratis (1999,2004,2009, dan 2014), demokrasi Indonesia belum berhasil keluar dari apa yang disebut F. Budi Hardiman sebagai “Moncong Oligarki” (Kompas, 23/02/13). Kekuatan ekonomis-politis yang dikuasai oleh partai politik menjerumuskan demokrasi pada kekuasaan yang dikuasai oleh segelintir orang—dan menjadikan suara mayoritas (kemenangan pemilu) sebagai basis legitimasi.
Apa yang terjadi? Demokrasi yang substansial dimaknai sebagai demokrasi elektoral (baca: pemilu). Kekuasaan demos (rakyat) diartikan sekedar voters (pemilih). Lalu dimana kedaulatan rakyat yang menjadi basis utama terselenggaranya demokrasi?
Demokrasi model inilah yang terjadi di Indonesia. Soekarno “menyeting” demokrasi untuk meligitimasi kekuasaannya dan menyingkirkan yang bukan kroni politiknya. Orde Baru tidak kurang pula “dosanya” dalam menjadikan demokrasi sekedar metode elektoral mencapai kekuasaan ekonomi politik. Dan pasca reformasi, demokrasi sedikit terbuka melalui kebebasan sivil, kebebasan organisasi, dan terbukanya pers. Namun demikain, dalam relasi kekuasaan demokrasi tidak memberikan ruang besar bagi rakyat dalam mewujudakan kedaulatan politiknya, selain proses “kedaulatan” semu dalam bilik suara yang berlansung selama lima menit. Dalam logika demokrasi, rakyatlah yang menjadi penguasa. yang terjadi adalah rakyat sekedar legitimasi kuasa untuk memuluskan agenda oligarki kuasa ekonomi-politik kelompok tertentu.
Inilah yang menjadi tantangan demokrasi kita pasca pemilu 2014. Setelah PDIP memenga tapuk kekuasaan legislatif negeri ini, kita berharap partai berlambang banteng itu membawa demokrasi Indonesia pada proses konsolidasi yang matang. Atau justru akan menguatkan oligarki politik yang mencekam demokasri kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H