Berpartisipasi dalam pendidikan adalah hak semua warga negara, perorangan ataupun perserikatan, baik formal maupun non formal. Artinya, pendidikan bukan wilayah sakral yang hanya boleh diselenggarakan dan dikelola pemerintah, tetapi merupakan ranah netral dan inklusif untuk dijamah dan dimasuki siapa pun.
Wujud dari partisipasi masyarakat dalam pendidikan adalah banyaknya sekolah swasta yang tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut hemat penulis, ada dua kategori sekolah swasta yang tumbuh dan berkembang dengan dimodali sekelompok orang kaya yang bergabung dalam yayasan. Sebagai timbal balik, yayasan mewajibkan siswa membayar donasi pendidikan yang telah ditentukan. Bahkan tak sedikit sekolah swasta tersebut berhasil menjadi lembaga pendidikan berkategori besar dan mapan.
Sisi lainnya, pemerintah mengupayakan suntikan dana dalam rangka mencerdaskan siswa berusia dengan prioritas kebutuhan pendidikan, para pengajar yang mentransfer ilmunya, hingga pelatihan guru-guru honorer dalam berbagai pelatihan. Dan ada begitu banyak cara dukungan dana serta kesepakatan transfer ilmu dilakukan.
Persoalan donasi pendidikan bagi pemangu kepentingan sekolah swasta berkategori besar dan mapan tentu tidak lagi menjadi masalah. Saya ingin mereka juga memperhatikan permasalahan yang tidak memiliki keadaan tersebut. Bahkan sebagian besar pemangku kepentingan sekolah itu menyakini bahwa lembaga pendidikan yang berkualitas memang seharusnya dijual mahal, kata sebagian fasilitator.
Sebuah penelitian mengenai bidang informasi, sebaikya memikirkan bentuk transfer informasi, kemudian penerapannya harus "berfikir" dan "beradaptasi" dengan waktu. Bukankah sebaiknya melembagakan pendidikan memerlukan kualitas yang baik, bisa? Ilmu juga perlu percepatan penyebarannya? Namun proses tersebut memang harus diatur dalam pembiasaan, mengkondisikan anak yang tenang untuk belajar.
Waktu melangkah menuai pro dan kontra. Komentar orang tua "berusaha keras memikirkan penghasilan yang cukup untuk menyekolahkan anaknya", "biaya sekolahan yang mahal disubstitusi dengan pemenuhan bahan pokok" dan dari pihak sekolah memberikan fasilitas cukup ‘membahagiakan' anak-anak sesuai dengan bayaran orang tua yang mahal. Dan akhirnya terjadilah level-level institusi dalam lembaga pendidikan saat ini.
Solusinya, memberikan pembeda pada 'sekolah rakyat', mengkampanyekan home schooling atau membahagiakan parasaan anak dari pembeda-pembeda tersebut? Diantara isu gembar-gembor tentang kurikulum baru yang lebih oke, mungkin diadaptasi 'kebarat-baratan'. Atau menyederhanakan sekolah sesuai kemampuan pada anak sesuai umurnya? Apapun itu, perkembangan anak pada usianya memerlukan pendampingan dari orang tua dan para pendidiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H