Mohon tunggu...
Angy Sonia
Angy Sonia Mohon Tunggu... -

pemerhati sosial literary Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

The Boy in The Stiped Pajamas

19 Maret 2012   03:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:50 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kejadian nyata film ini mengenai perseteruan Nazi dengan Yahudi dari sudut pandang mata anak-anak usia 8 tahun.

Benang merah film berhasil dibangun oleh 5 menit pertama - suasana kota Jerman di jaman Nazi, profil keluarga Komandan Nazi, suasana tahanan kota hingga akhirnya Ralf (David Thewlis) dan istrinya Elsa (Vera Farmiga) akan pindah dari Berlin. Mereka akan pindah ke pedesaan bersama kedua anak mereka, Gretel (Amber Beattie) 12 tahun dan Bruno (AsaButterfield) 8 tahun .

Ralf dipromosikan menjadi komandan sebuah kamp konsentrasi Nazi, secara Auschwitz. Pada suatu hari, ayah Bruno ditugaskan ke daerah pelosok untuk mengawasi camp tahanan untuk orang-orang Yahudi. Dengan demikian, sang Jenderal dan keluarganya, termasuk Bruno harus pindah rumah ke daerah sekitar camp tersebut, walau letaknya masih cukup jauh dari camp. Di kota, Bruno hidup nyaman dan merasa berat untuk pindah, Bruno tidak mengerti apa-apa dengan situasi yang ada karena dia masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi. Dan Bruno cukup dibahagiakan oleh rumah baru yang berhalaman luas.

Jiwa petualang Bruno muncul karena dia bosan di rumah sendirian tanpa teman. Dari sudut jendela gudang, Bruno menyelinap penasaran keluar rumah. Bruno bisa menerobos penjagaan rumah yang ketat dan berhasil bermain menyusuri hutan-hutan hingga sampai di perbatasan camp. Awalnya, Bruno hanya penasaran ingin bermain-main di sebuah peternakan dekat rumah, ternyata yang dianggap “perternakan itu” sebenarnya kamp Nazi.

Di perbatasan itulah dia berteman dengan anak Yahudi yang menjadi tahanan, Shmuel. Dalam pikiran Bruno Shmuel hidup senang di dalam camp tersebut karena banyak “teman lainnya yang berseragam” yang bisa diajak bermain bersama. Dengan menggunakan “piyama” yang sama. Dalam pikiran Bruno “baju seragam itu” keren dan dia rela berkorban tinggal bersama Shmuel di balik pagar listrik. Film ini murni film drama tanpa ada adegan yang sadis dipertontonkan. Begitu selesai nonton film ini kesan yang didapat adalah “makanya, hentikan penindasan!” atau “peperangan tidak baik dilakukan dengan melibatkan anak-anak!”. Pesan cerita film ini berakhir pada sebuah perenungan orang dewasa. Penindasan? Perang? tidak akan menyelesaikan masalah.

PS : Auschwitz adalah sebuah nama untuk mengidentifikasikan kekejaman Nazi. Sebuah nama daerah, namun menjadi diabadikan sesuai kejadiaan tragis itu terjadi, nama sebuah tempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun