Film Didi adalah tipe film yang membawa kita bernostalgia ke masa lalu---bahkan jika itu bukan masa lalu kita sendiri. Karya debut Sean Wang ini mengangkat pasang surut kehidupan remaja dengan cara yang otentik, memadukan humor dengan realitas pahit tentang pencarian jati diri. Mengambil latar era awal 2000-an, ketika Facebook baru lahir dan MySpace masih berjaya, film ini menyelami bagaimana identitas seseorang dibentuk oleh apa yang mereka unggah dan citra yang mereka kurasi secara daring.
Seperti halnya remaja pada umumnya, karakter dalam Didi menghadapi berbagai perjuangan personal dan masalah sosial. Hubungan keluarga, tekanan sosial, serta kebingungan tentang identitas, terutama sebagai bagian dari diaspora Asia, menjadi tema utama yang diangkat. Namun, di balik nostalgia yang begitu kuat, ada pertanyaan besar: apakah film ini benar-benar menawarkan sesuatu yang baru atau sekadar nyaman dalam sumur kenangan?
Nostalgia yang Relatable, Tapi Kurang Mendalam
Salah satu kekuatan Didi terletak pada kemampuannya menangkap detail-detail kecil yang membuat kita terhubung dengan masa lalu. Jika kamu pernah menghabiskan waktu di warnet untuk memperbarui status Facebook dengan lirik lagu emo atau menyusun layout MySpace dengan penuh pertimbangan, film ini bisa jadi terasa seperti kapsul waktu yang membawamu kembali ke era itu. Adegan-adegannya dikemas dengan realisme yang kuat---mulai dari interaksi canggung antar teman hingga dinamika keluarga yang begitu familiar bagi banyak penonton.
Namun, di balik semua itu, Didi terasa seperti sebuah puzzle yang belum sepenuhnya lengkap. Meskipun film ini menyentuh banyak aspek kehidupan remaja, beberapa elemen terasa kurang digali secara mendalam. Ambil contoh hubungan antara karakter utama dengan ibunya, yang seharusnya menjadi inti emosional film ini. Joan Chen, yang berperan sebagai ibu, tampil kuat, tetapi interaksi antara ibu dan anak dalam film ini terasa sekadar tempelan. Tanpa pengembangan karakter yang lebih dalam, hubungan mereka tidak mencapai klimaks emosional yang benar-benar menggugah.
Film Coming-of-Age yang Belum Sepenuhnya Dewasa
Dibandingkan dengan film coming-of-age lain seperti Lady Bird, Eighth Grade, atau bahkan serial Pen15, Didi terasa kurang matang dalam penceritaannya. Jika film-film tadi berhasil membangun nuansa emosional yang lebih kompleks, Didi justru cenderung bermain aman. Film ini tampak puas dengan hanya menghadirkan nostalgia tanpa benar-benar mengupas dampak mendalam dari pengalaman remaja yang ditampilkan.
Bukan berarti Didi adalah film yang buruk. Sebagai debut film panjang, Sean Wang menunjukkan bakat penyutradaraan yang menjanjikan. Penyajian visualnya kuat, akting para pemainnya solid, dan atmosfer era 2000-an yang ia bangun terasa sangat autentik. Namun, jika bicara soal kedalaman cerita, Didi masih terasa sebagai potret kehidupan remaja yang sedikit terlalu bersih dan lurus, tanpa keberanian untuk menyelami konflik yang lebih kompleks.
Kesimpulan
Didi adalah film yang bisa dinikmati, terutama bagi mereka yang ingin bernostalgia dengan era awal media sosial. Film ini berhasil menangkap perasaan gelisah saat beranjak dewasa dan menyajikannya dalam kemasan yang ringan serta relatable. Namun, bagi mereka yang menginginkan cerita coming-of-age dengan kedalaman emosional yang lebih kuat, Didi mungkin terasa kurang menggigit.