"Jadi, modal terbesar kita adalah jati diri kita, jati diri NTT."
Â
"Literasi di NTT rendah, memprihatinkan!" Sebagai masyarakat NTT, statement ini dapat kita tangkal dengan bualan, tidak mungkin dengan data. Sebab, jika dengan data maka tentu statement itu benar. Tidak dapat kita tangkal. Pada tahun 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merilis data daftar Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) di Indonesia. Dari data yang dirilis, NTT menempati posisi ke-31 dari 34 provinsi di Indonesia. Tentu rendah.
Rendahnya indeks alibaca di NTT disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kurangnya akses terhadap bahan literasi di NTT. Indeks dimensi akses bahan literasi di NTT hanya berada pada angka 16,25. Kedua, penggunaan perangkat elektronik dalam mengakses sumber literasi pun masih rendah. Pada dimensi mengakses sumber literasi menggunakan perangkat elektronik, NTT hanya berada pada angka 31,03. Padahal, perkembangan teknologi sekarang ini sudah sangat pesat. Memprihatinkan. Ketiga, rendahnya dimensi budaya. Budaya yang dimaksud adalah kebiasaan atau perilaku mengakses bahan literasi di NTT yang juga hanya berada pada angka 21,92. Kondisi ini sungguh memprihatinkan.
Lalu, bagaimana mengatasi masalah ini? Tentu dengan sering mengakses bahan-bahan literasi, memanfaatkan perangkat elektronik untuk mengakses sumber-sumber literasi digital, dan membentuk suatu budaya yang baik dalam mengakses dan membaca bahan-bahan literasi. Hanya saja, muncul lagi pertanyaan. Apa modal kita di NTT jika kita ingin literasi di NTT membaik? Lalu, dari mana kita harus memulai?
Pertama, modal. Modal yang selalu ada adalah jati diri kita sendiri. Oleh sebab itu, pergilah ke cermin lalu bercermin. Apa yang kita lihat di cermin? Bukankah setiap hari tampilannya cenderung statis? Benar! Maksud dari jati diri kita adalah budaya, alam, dan masyarakat kita di NTT. Semua ini tentu tidak berubah kan? Perubahannya cenderung statis, justru cenderung berubah mengarah ke memudarnya identitas kita selayaknya manusia yang kian menua di depan cermin. Identitas kita inilah modal kita. Identitas kita ini seharusnya menjadi objek dari literasi kita.
Perihal jati diri, kita telah diakui di level nasional maupun internasional. Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo meneguhkan salah satu wilayah di NTT yakni Labuan Bajo sebagai destinasi wisata super premium. Selain itu, ada Resort Nihiwatu, resort terbaik di dunia versi Majalah Travel & Leisure; Pulau Sumba, pulau terindah di dunia versi Majalah Focus dari Jerman; Taman Nasional Matalawa di Pulau Sumba ditetapkan oleh International Bird Life sebagai important bird area; Taman Nasional Kelimutu di Ende; dan Komodo di Taman Nasional Komodo yang dinobatkan sebagai satu dari tujuh keajaiban alam (New7Wonders of nature) oleh New7wonders Foundation. Jati diri kita ini yang perlu kita angkat sebagai objek literasi kita. Kita perlu mulai membaca dan menulis jati diri kita sendiri. Jadi, modal terbesar kita adalah jati diri kita, jati diri NTT.
Kedua, titik start. Jika kita telah memahami modal kita untuk memajukan literasi di NTT, dari mana kita harus mulai mengembangkan modal yang sudah ada? Dunia pendidikan formal, sekolah. Sekolah memegang peranan penting untuk memberikan akses terhadap sumber literasi, pemanfaatan teknologi dalam pendidikan, dan menanamkan budaya baca-tulis kepada anak sedini mungkin. Sekolah memiliki perpustakaan (pastinya seluruh sekolah di NTT sudah difasilitasi dengan perpustakaan yang memadai oleh pemerintah terkait, kan?). Sekolah perlu membentuk budaya baca-tulis pada siswanya, membiasakan siswa membaca dengan rutin seharusnya menjadi program kurikulum sekolah. Tidak harus menunggu dan berpatokan pada kurikulum atau arahan pemangku kepentingan di pemerintahan terkait.
Di sisi lain, integrasi pembelajaran dengan teknologi diperlukan. Tentu hal ini membutuhkan kerja keras dari pihak sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dan guru di kelas sebagai ujung tombak pendidikan. TPACK (Technological Pedagogical And Content Knowledge) adalah formula yang tepat untuk memadukan teknologi, pedagogi, dan konten pengetahuan dalam kelas. Tentu dengan memadukan teknologi dalam pembelajaran, akan membiasakan siswa mengakses sumber pelajaran menggunakan teknologi yang semakin canggih.
Lalu, bagaimana sekolah menggunakan modal yang sudah ada? Tentu dengan mengolaborasikan jati diri NTT dalam setiap konten pembelajaran di kelas. Membaca dan menulis tentang diri sendiri. Kekayaan alam dan sosial budaya kita di NTT seharusnya menjadi objek baca-tulis kita. Tentu ini akan menyenangkan, yakni membaca tentang diri sendiri dan menulis tentang diri sendiri. Sebagai contoh, pemanfaatan kekayaan pariwisata NTT sebagai konten baca tulis di kelas. Misalnya dalam penulisan antologi puisi atau antologi cerpen kelas yang mengangkat tema apresiasi kekayaan alam dan sosial budaya di NTT. Produk lain yang dapat dihasilkan dapat berupa cerita perjalanan, panduan pariwisata, budaya yang beragam di NTT, dan lain-lain.
Modal awal sudah ada. Modal kita tentu melimpah dan berkelas dunia. Apakah kita nyaman dengan peringkat ke-31 dalam kemampuan alibaca? Lalu, kapan kita akan mulai bergerak memajukan literasi NTT? Sekarang!