Pada tahun 2019 sampai awal 2020, dunia dikejutkan dengan mewabahnya pneumonia baru yang bermula dari Wuhan, Provinsi Hubei yang kemudian menyebar dengan cepat ke lebih dari 190 negara dan teritori. Wabah ini diberi nama coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Penyebaran penyakit ini telah memberikan dampak luas secara sosial dan ekonomi. Masih banyak kontroversi seputar penyakit ini, termasuk dalam aspek penegakkan diagnosis, tatalaksana, hingga pencegahan.Â
Sampel yang diteliti menunjukkan etiologi coronavirus baru. Awalnya, penyakit ini dinamakan sementara sebagai 2019 novel coronavirus (2019-nCoV), kemudian WHO mengumumkan nama baru pada 11 Februari 2020 yaitu Coronavirus Disease (COVID-19) yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Virus ini dapat ditularkan dari manusia ke manusia dan telah menyebar secara luas di China dan lebih dari 190 negara dan teritori lainnya.
Pada 12 Maret 2020, WHO mengumumkan COVID-19 sebagai pandemik. Hingga tanggal 29 Maret 2020, terdapat 634.835 kasus dan 33.106 jumlah kematian di seluruh dunia. Sementara di Indonesia hingga tanggal 14 April 2020 di 34 provinsi sudah ditetapkan 4.839 kasus dengan positif COVID-19 dan 459 kasus kematian.
Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus ini utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan unta. Sebelum terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63, betacoronavirus OC43, betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-CoV), dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV). Coronavirus yang menjadi penyebab COVID-19 termasuk dalam genus betacoronavirus. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory Illness (SARS).
Saat ini, penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif. Transmisi SARS-CoV-2 dari pasien yang bergejala (simptomatik) terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin. Beberapa laporan kasus menunjukkan dugaan penularan dari karier asimtomatis (seseorang yang positif COVID-19 tapi tidak bergejala). Kasus-kasus terkait transmisi dari karier asimtomatis umumnya memiliki riwayat kontak erat dengan pasien COVID-19.
Studi lain di Singapura menemukan pencemaran lingkungan yang ekstensif pada kamar dan toilet pasien COVID-19. Virus dapat dideteksi di gagang pintu, dudukan toilet, tombol lampu, jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak pada sampel udara.
Faktor risiko menjadi seseorang lebih rentan untuk terpapar COVID-19, Berdasarkan data yang sudah ada, penyakit komorbid hipertensi dan diabetes melitus, jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif merupakan faktor risiko dari infeksi SARS-CoV-2. Distribusi jenis kelamin yang lebih banyak pada laki-laki diduga terkait dengan prevalensi perokok aktif yang lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada peningkatan ekspresi reseptor ACE2. Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2. Penelitian lain juga menjelaskan, bahwa pasien dengan sirosis atau penyakit hati kronik juga mengalami penurunan respons imun, sehingga lebih mudah terjangkit COVID-19, dan dapat mengalami luaran yang lebih buruk. Studi Guan, dkk, menemukan bahwa dari 261 pasien COVID-19 yang memiliki komorbid, 10 pasien di antaranya adalah dengan kanker dan 23 pasien dengan hepatitis B.Â
Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah.
Bagaimana gejala klinis COVID-19 ?Â
Gelaja klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Perjalanan penyakit dimulai dengan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14 hari (median 5 hari).
Jika seseorang mengalami gejala tersebut, segera lah proteksi diri menggunakan masker dan mencuci tangan serta menjaga kebersihan terlebih dahulu, menjauh dari orang yang sehat atau isolasi mandiri selama 14hari, kemudian bila tidak memungkinkan bertahan dirumah segera ke rumah sakit terdekat atau rumah sakit rujukan yang telah ditetapkan oleh pemerintah di masing-masing daerah. Maka pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu, pemeriksaan laboratorium, pencitraan (foto thoraks dan CT-SCAN thoraks), pemeriksaan antigen-antibodi, pemeriksaan virologi, pengambilan spesimen yaitu WHO merekomendasikan pengambilan spesimen pada dua lokasi, yaitu dari saluran napas atas (swab nasofaring atau orofaring) atau saluran napas bawah (sputum) yang dilakukan pengambilan sampel selama 2 hari berturut turut untuk PDP dan ODP, boleh diambil sampel tambahan bila ada perburukan klinis. Pada kontak erat risiko tinggi, sampel diambil pada hari 1 dan hari 14.