Pandemi COVID-19 hingga saat ini belum menunjukkan titik terang untuk segera berakhir. Setiap hari bahkan diberitakan kasus orang yang terjangkit semakin tinggi dengan angka kematian yang meningkat. Pandemi memberikan dampak negatif bagi kondisi psikologis masyarakat, tidak hanya pada orang dewasa namun juga pada anak.
Rasa cemas dan takut akan paparan virus COVID-19 memberikan pengaruh hebat terhadap emosi (Kaligis, Indraswari, & Ismail, 2020). Perubahan besar pada aktivitas sehari-hari seperti belajar dari rumah, menjaga jarak dengan orang lain, menggunakan masker saat keluar rumah, dan tetap di rumah saja sehingga membatasi interaksi dengan orang lain. Situasi seperti ini menyebabkan munculnya stres karena harus menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan kebiasaan. Kebijakan baru ini menyebabkan berkurangnya aktivitas serta interaksi sosial pada anak. Kondisi seperti ini tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan burnout. Mungkinkah burnout juga terjadi pada anak-anak? Apa yang menyebabkan dan bagaimana cara mencegah serta menanganinya?
Selama ini yang kita pahami, burnout biasa terjadi pada orang dewasa (orang bekerja). Burnout dapat diartikan sebagai penyakit terkait stres pada pekerjaan (Expsito-Lpez, dkk, 2020). Burnout diartikan sebagai kondisi kelelahan baik secara mental, fisik, maupun emosional.
Sesungguhnya, stres memiliki fungsi yang baik guna membantu kita termotivasi untuk mencapai sesuatu. Apabila stres terjadi berkepanjangan dengan masalah yang tidak ada habisnya serta kondisi yang sangat tidak dapat diprediksi seperti saat ini, akan secara perlahan-lahan membuat kejenuhan dan kelelahan terutama pada anak-anak. Bermula dari munculnya stres, kemudian dapat menyebabkan kecemasan yang akan membuat anak merasa lelah sehingga memengaruhi kegiatan mereka. Hal tersebut kemudian berdampak pada motivasi dan ketertarikan anak pada aktivitas.
Apa yang membuat anak-anak bisa mengalaminya? Burnout akan terjadi apabila adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan sumber daya. Pada kasus ini, anak-anak sangat membutuhkan aktivitas sosial terutama bermain dengan teman-temannya, serta kebutuhan untuk dapat bertatap muka secara langsung dengan guru guna mempermudah siswa memahami materi yang diberikan oleh guru. Namun karena kasus COVID-19 yang sampai saat ini belum mereda, anak-anak menjadi kurang dalam aktivitas sosial. Aktivitas sosial tidak terbatas pada kegiatan pembelajaran tatap muka, tetapi juga kegiatan-kegiatan lain yang terjadi di sekolah.
Tanda-tanda anak mengalami burnout
- Penundaan: saat anak mulai menunjukkan adanya penundaan untuk melakukan tugas tertentu yang mana sebelumnya anak bersemangat untuk melakukannya.
- Tampak kelelahan dan tidak bersemangat: saat anak menjadi lebih malas untuk beraktivitas, baik sekolah maupun aktivitas lain di rumah.
- Menghindar dari situasi tertentu: anak yang semula merasa nyaman dengan keadaan sekolah secara daring, saat ini mulai mencari alasan untuk tidak bersekolah secara daring.
- Kesulitan fokus atau konsentrasi menurun: biasanya anak dapat mempertahankan fokus lebih dari 10 menit, saat ini bertahan 5 menit saja tampak sangat sulit.
- Mudah marah: anak-anak menjadi mudah tersulut emosinya bahkan dengan hal-hal kecil, yang mana sebelumnya tidak seperti itu.
- Perubahan pola tidur dan makan. Perubahan pola tidur yang terjadi adalah anak menjadi terlalu sering tidur atau kesulitan untuk tidur, sedangkan perubahan pola makan yang terjadi adalah anak merasa selalu lapar atau menjadi tidak napsu makan sama sekali ("Psychological Support for Children during COVID-19", 2020).
- Tanda lainnya yang cukup ekstrim adalah menyakiti diri sendiri. Pada beberapa anak, mereka menyakiti diri sendiri (contoh: mencubit tangan sendiri, membenturkan kepala, dll) saat mereka merasa sangat frustrasi karena mereka merasa tidak mampu atau tidak terbiasa mengungkapkan kondisinya pada orang lain.
Cara menghindari (pencegahan) anak mengalami burnout
- Komunikasi. Bangun komunikasi dua arah yang sehat antar anggota keluarga, niscaya anak pun akan mau bercerita dengan lebih leluasa mengenai permasalahan yang dihadapinya kepada orangtua. Berikan pemahaman mengenai kondisi yang saat ini terjadi, jelaskan secara detail kepada anak sehingga anak dapat memahami situasi yang membuat mereka harus mengalami perubahan-perubahan tertentu.
- Buat jadwal rutinitas harian. Tentukan bersama dengan anak jadwal harian mulai dari bangun hingga tidur, hal tersebut dapat membantu anak dalam menjalani hari.
- Libatkan anak dalam pembuatan keputusan. Berikan kepercayaan pada anak untuk dapat membuat keputusan atau mengutarakan pendapatnya, sehingga anak juga belajar bertanggung jawab dengan apa yang disampaikan.
- Minimalisir atau hilangkan gangguan. Hindarkan anak dari gangguan-gangguan seperti siaran TV, permainan, kebisingan, dll, sehingga anak dapat lebih fokus saat belajar secara daring.
- Berikan pujian kepada anak jika dapat mentaati peraturan, baik yang dibuat bersama maupun sudah ditentukan dalam keluarga.
- Melakukan aktivitas bersama keluarga. Berikan waktu istirahat bagi anak, bisa dengan melakukan kegiatan sederhana misalnya olahraga bersama di pagi hari, menonton film bersama di akhir pekan, atau sekadar memasak dan bermain bersama.Â
- Pahami kebutuhan anak. Sebagai orang yang lebih dewasa, kita diharapkan dapat memahami kebutuhan serta keterbatasan anak. Orangtua jangan menilai dari sudut pandang kita karena belum tentu anak mampu melakukan hal tersebut dan membutuhkan bantuan kita. Orangtua diharapkan dapat lebih peka terhadap kebutuhan dan keterbatasan anak.
Â
Lalu, bagaimana jika anak kita sudah menunjukkan gejala burnout? Langkah awal yang dapat kita lakukan adalah tidak panik, segera komunikasikan dengan pasangan mengenai kondisi anak, dan carilah pertolongan profesional segera.
Perlu diingat bahwa ciri-ciri yang penulis jabarkan di atas tidak semerta menjadi patokan untuk melakukan diagnosa sendiri, melainkan dapat dijadikan acuan bagi orangtua maupun orang terdekat anak agar lebih memperhatikan (aware) dengan kondisi atau perubahan pada anak. Akhir kata, penulis berharap informasi ini dapat membantu orangtua, pendidik, maupun orang di sekitar anak menjadi lebih peka dengan kondisi maupun perubahan pada anak. Berikan respon yang sesuai terhadap kebutuhan dan masalah anak, serta jangan ragu untuk mencari bantuan profesional (dokter, psikolog, maupun psikiater).
Referensi: