Mohon tunggu...
Anggreyan Agustin Sinaga
Anggreyan Agustin Sinaga Mohon Tunggu... Administrasi - Stay hungry; stay foolish

http://anggreyansinaga.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Hidup ‘Green’ demi Kepentingan Orang Banyak

16 November 2015   09:05 Diperbarui: 16 November 2015   09:30 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa hari yang lalu, saya ke perpustakaan pusat dan menghabiskan waktu seharian di perpustakaan dengan membaca-baca buku. Memang hari itu kuliah saya diliburkan, karena dosen yang berkaitan sedang berada di luar negeri. Saya juga malas berdiam diri di kos karena teman-teman kos saya juga sedang berada diluar kos. saat hendak pulang, saya mencari beberapa buku untuk dipinjam dan akan saya baca di kos, kalau tidak malas pastinya. Saya berniat meminjam buku pondasi dan novel. Saya langsung menuju rak buku tempat buku yang saya inginkan. Tetapi saat mengambil buku pondasi, saya melihat satu buku yang berjudul “Green Architecture Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia” saya langsung tertarik pada buku ini.

Mungkin karena saya mahasiswa teknik sipil, jadi ada ketertarikan mengenai isi buku ini. Saya melihat ada dua jilid, tapi saya putuskan untuk mengambil jilid pertama. Saat saya membaca lembar pada buku ini yaitu bagian prolog saya sebagai mahasiswa teknik sipil benar-benar merasa malu dan ingin menjadi bagian perubahan Indonesia dimasa depan. Dibagian prolog, pak Tri Harso Karyono sebagai penulis buku ini menceritakan alasan  sehingga beliau menulis buku ini.

Ada beberapa dialog diantara penulis dan teman-temannya (semua merupakan orang asing yang bergerak dibidang arsitektur) saat melihat gedung-gedung tinggi di ibu kota. Menurut saya percakapan mereka cukup geli tapi ini meruapakan hal yang benar-benar serius. Seorang teman penulis berkata “ini benar-benar bencana arsitektur ! bangunan dirancang tanpa pertimbangan iklim sama sekali. Semua bangunan dibungkus dengan kaca yang menimbulkan ‘efek rumah kaca’. Betapa panasnya ruang di dalam bangunan, betapa besar energy dihamburkan untuk mendinginkan bangunan!”. Melihat keadaan ibu kota yang dipadati kendaraan teman penulis yang lainnya berkata “ini mirip new delhi”, dan tiba-tiba ditangkis oleh teman penulis lainnya, katanya “saya kira berbeda. di New Delhi, jalanan dipenuhi kendaraan umum, sementara disini jalan dipadati kendaraan pribadi”

Hanya membaca bagian prolognya saja, saya sudah sangat-sangat-sangat setuju dengan perbincangan mereka. karena memang begitulah keadaannya. Setelah membaca buku ini, saya semakin melihat problem yang berkepanjangan di negeri ini dan saya harap kedepannya terjadi perubahan yang positif.

Walaupun saya jurusan teknik sipil, tetapi jarang sekali diperkuliahan diperlihatkan masalah-masalah yang sebenarnya sedang terjadi dan apa perubahan yang harus kita lakukan kedepannya  pada saat kita sudah berada di lapangan/dunia kerja. Apa yang seharusnya kita lakukan dan apa yang tidak. Saya melihat melalui buku ini bahwa ternyata dari tangan kita yang berkecimpung di dunia sipil/arsitektur dapat mendorong kemunduruan alam jika kita tidak benar-benar bekerja dengan cerdas.

Di Indonesia, yang merupakan Negara tropis ternyata kaca bisa menjadi problem dan memang sudah menjadi problem besar. Lihat saja, ternyata bangunan yang memiliki dinding kaca yang banyak kita temui di kota-kota besar sangat tidak cocok diaplikasikan di negara kita ini. Tapi kenyataannya, hampir semua gedung mewah, ditutupi oleh kaca sebagai pengganti dinding. Jika kita melihat bagunan di luar negeri, banyak yang menerapkan hal yang sama. Tapi mereka melakukannya dengan tujuan menghangatkan ruangan dari penyerapan panas lewat suhu. Sedangkan kita memiliki iklim tropis yang cenderung panas. Jika ingin menjadikannya sebagai nilai estetika, pikirkan dampak yang cukup serius. Ada cara untuk mensiasatinya. Jika sebagai pembantu penerangan, ada juga cara mensiasatinya sehingga yang masuk ke ruangan itu adalah cahaya matahari, bukan panas langsung dari matahari.

Kita tahu, bahwa kaca yang terkena langsung oleh panas matahari akan menyerap panas apalagi yang warnanya gelap dan panas yang masuk ke ruangan akan memanasi benda-benda dalam ruangan dan menyebabkan suhu ruangan panas (sama seperti perilaku efek rumah kaca). Jika suhu ruangan tidak nyaman, maka aktifitas kita tidak akan optimal. Lalu solusi yang kita gunakan adalah menggunakan AC sebagai pendingin ruangan. AC yang digunakan untuk bangunan besar tidak cukup menggunakan AC satu, pasti diperhitungkan hingga suhu ruangannya benar-benar nyaman digunakan untuk beraktifitas (biasanya jumlahnya sangat banyak). Jangankan bangunan-bangunan besar seperti kantor, mall dll, zaman sekarang rumah tinggal saja sudah tidak menjadi hal mewah lagi jika menggunakan AC.

Coba saja dinding yang dipakai bukan kaca, maka penyerapan panas tidak akan sebanyak jika menggunakan kaca, dan AC tidak menjadi kebutuhan pokok di tiap ruangan. Dalam hal ini, bagi penerus perancang-perancang masa depan, perlu berpikir ‘green’. Bagaimana caranya agar kita bisa menghemat penggunaan energy. Bayangkan bangunan lantai tingkat banyak, berapa banyak energy yang dihabiskan hanya untuk mendinginkan ruangan yang panas. Paling tidak, kenali keadaan iklim kita terlebih dahulu, bagaimana caranya agar gedung yang kita bangun nantinya bisa nyaman dihuni dan tetap sejuk tanpa memprioritaskan AC. Kenapa bukan fentilasi yang di optimalkan, dan ruang utama jangan menghadap timur atau utara, karena panas akan banyak terserap dan kita harus mendinginkan suhu ruangan tersebut.

Saat kita merancang bangunan umum, sebisa mungkin rancang jugalah lahan hijaunya. Bahkan lahan hijau ini estetikanya lebih dapat dibandingkan dengan bangunan yang serba kaca. Selain estetika, pastinya lahan hijau akan membantu membersihkan udara yang sudah sangat kotor dengan gas co2. Zona hijau, tidak harus merupakan pekarangan, di atap atau di bagian bangunan juga bisa dijadikan zona hijau seperti negara lain yang telah terapkan. Dan hal tidak kalah penting, kita harus memikirkan akses. Akses kendaraan umun dan untuk pejalan kaki. 

Trotoar hal yang sangat penting bagi pejalan kaki, tetapi kenapa sering sekali diabaikan ? banyak jalanan yang tidak memiliki trotoar. Hanya ada badan jalan. Berarti secara tidak langsung pengguna jalan dituntut menggunakan kendaraan. Dalam jarak yang dekatpun akan ditempuh dengan kendaraan. Coba saja tersedia trotar yang nyaman, saya rasa jika hanya berjarak 500-1000m orang-orang akan memilih untuk jalan kaki. Tidak heran zaman sekarang, pelajar saja sudah memiliki kendaraan pribadi. Inilah alasan kenapa jalanan dipadati oleh kendaraan pribadi. Kita orang Indonesia masih saja berusaha hidup mewah ditengah kemelaratan. Mungkin jika kita menggunakan kendaraan umum saat bepergian, tidak akan terlihat mewah. Dan PR untuk pemerintah agar kendaraan umum tolong di upgrade senyaman mungkin dan jumlahnya memadai, sehingga orang-orang yang memiliki kebiasaan hidup green tidak terlalu lama menunggu di halte.

Kita yang melulu tinggal di kota dan bisa menggunakan energy seboros kita mau kenapa tidak perrnah mulai berfikir green, dan hemat energy ? apalagi orang-orang kaya yang rumah tinggal saja menggunakan AC, menggunakan Lift, yang TV nya lebih dari 2, dan banyak lagi peralatan yang memboroskan energy. Kenapa tidak berfikir energy yang harusnya kalian pakai untuk menyalakan AC, dikasih ke orang-orang yang tinggal di pedalaman yang listrik aja mereka belum kenal. Coba di akumulasikan, pasti penggunaan energy di Indonesia bisa merata. Tidak berat sebelah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun